Halloo!

Perkenalkan, Saya Eko Surya Winata!

Knowledge is Power

"Tulisan ini ngawur, sama kayak yang nulis" - Ayah

Tulisan Berbahaya!

"Maksudnya apa sih ini?" - Ibu

www.twitter.com/ekoswinata

Berteman dengan Eko Surya Winata di Twitter

Salam Kenal

Menulis Adalah Kerja untuk Keabadian!

Minggu, 06 Mei 2018

Memaksimalkan Berpikir Rasional



“There’s one way to be rational, there are many ways to become irrational”
(Eko Surya Winata)
*diterjemahkan dari bahasa Sunda



Ada banyak jalan untuk menjadi irrasional, misal pada saat bingung, tidak dapat menentukan sikap, Myiopia, Vindictive, Emosi, saat itu lah biasanya banyak keputusan salah diambil. Oleh sebab itu, irrasionalitas bukan lah pilihan.

Ada satu hal yang menarik terkait rasionalitas kita. Ternyata rasionalitas kita dapat diinjeksi, yaitu itu memaksimalkan cara kerja rasionalitas di saat kita tidak mampu berpikir rasional. Gimana caranya? Mau tahu?

Caranya adalah dengan menginjeksi rasionalitas melalu penggunaan cara pandang orang lain dalam melihat suatu kejadian yang kita alami, atau dengan kata lain berpikir dari sudut pandang “the outsider”.

Jadi begini, saat anda berpikir tentang hidup anda, maka yang terjadi adalah anda akan terjebak dalam sudut pandang/perspektif anda sendiri, terjebak dalam emosi anda, perasaan anda, dst (so on).

Namun, bayangkan jika anda berada di posisi orang yang sedang memberikan pendapatnya untuk orang lain (the outsider),
Anda berperan sebagai sudut pandang/ perspektif yang tidak terjebak dalam “Emotional Complexity”. Artinya, anda dapat memberi pandangan yang lebih jauh ke depan tanpa terlibat dalam emosi secara spesifik.

 Practically
“ So one idea is to basically asked people for advice”
Misalnya, ketika anda sedang jatuh cinta, minta lah pendapat orang lain, biasanya jawaban paling bijak ada dari ibumu.

Kamu : “Ma, apa pendapatmu apakah aku dan dia cocok, apakah compatible long-term?” (Pada saat itu anda pasti sedang benar-benar kasmaran.........yes, you’re infatuated!)
*infatuated is a condition when you are becoming extremely interesting about someone/ something for a short time


Ibu : Hey gurl, come on, when u are infatuated u’re not able to see things three months down the road.

Kamu : Ma, ini bukan kasmaran. Okey kalo ini kasmaran, ini kasmaran selamanya dan ga akan pernah hilang.........jangan sok Inggris deh mah, This is Infatuated forever u know, never go away!

Dalam kasus ini, ibu anda adalah “the outsider” dan tidak sedang dalam kasmaran (being infatuated), dan bisa jadi dia sedang mempertimbangkan hal lainnya seperti Long Term Compability, dsb.
Cara lain yang bisa dilakukan adalah dengan tidak menjadi penasihat bagi orang lain melainkan menjadi penasihat bagi diri anda sendiri (to be advisors for ourselves).
Misalnya,
Suatu ketika teman anda mendapat diagnosa dari dokter dan harus pergi dokter kembali untuk mengobati sakit. Anda tahu biayanya mahal, ternyata anda punya opsi lain dengan biaya jauh lebih murah. Tentu anda akan menyarankan opsi lain tersebut pada teman anda. Namun tak disangka, teman anda menolak “hey ga dong ini udah rekomendasi dokter harus dengan cara ini, jangan coba-coba pakai cara lain dong”.
Kemudian anda ceritakan ke perkumpulan teman anda seolah hal tersebut terjadi pada diri anda. Bagaimana pendapat mereka. “Hey kenapa kamu ga pergi ke opsi yang lebih murah....”

Kesimpulannya adalah bagaimana cara agar anda dapat mendapatkan pendapat dari perspektif “The Outsider” dan melatih agar diri dapat melihat keadaan dari perspektif luar (Outside perspective).

Fin
Esw


*Notes: Kata “Anda” sebenarnya semula adalah “Kamu”, ku ganti biar macam Motivator.

Padahal saya Desperator

Sabtu, 05 Mei 2018

YAHUDI DAN PALESTINA: JADI BEGINI






“It is time to officially recognize Jerusalem as the capital of Israel” (Donald Trump)
Potongan pidato Donald Trump yang mengumumkan bahwa Amerika mengakui Jerusalem sebagai ibu kota Israel.

Pernyataan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump ini membuat saya, juga mungkin anda marah besar. Konflik besar di Israel – Palestina adalah isu yang mendapatkan perhatian besar bagi pemerintah dan masyarakat Indonesia. Presiden Joko Widodo, sejalan dengan pemimpin dunia lain dengan segera mengecam langkah Trump tersebut.
Berbagai media massa merekam gelombang protes yang berasal dari berbagai kalangan di seluruh dunia, dan menghadirkan berbagai pakar untuk membedah implikasinya. Berbagai pemberitaan dan analisis di media kita bersepakat bahwa langkah Trump ini bakal memperparah ketegangan yang terjadi di wilayah Timur Tengah dan memberi pengakuan kedudukan Israel atas Palestina.
Namun, terdapat berbagai masalah dalam pemahaman beberapa dari kita dan media dalam memandang konflik tersebut serta peran orang Yahudi di dalamnya.

Salah satu hal yang paling mencolok selepas pidato Trump adalah maraknya pemberitaan tentang persatuan umat Islam dan Kristen di Jerusalem untuk memprotes keputusan tersebut. Sekilas penolakan ini sangat masuk akal, mengingat Jerusalem adalah ibu kota untuk agama Yahudi, Islam dan Kristen sekaligus.
Menjadikan Jerusalem sebagai ibukota Israel di tengah konflik dengan Palestina tentu punya Implikasi politis yang sangat keras. Pemberitaan ini pun tampak selaras dengan bingkai bahwa permasalahan ini adalah permasalahan kemanusiaan, bukan konflik agama tertentu saja.
Memang terdapat berita mengenai penolakan dari kelompok Yahudi sendiri, namun ia tak begitu signifikan secara jumlah dan pengaruhnya dalam perbincangan publik. Berita-berita lain justru menekankan bahwa ini adalah konflik kegamaan yang menempatkan Yahudi sebagai “Musuh bersama”, baik melalui pernyataan tokoh Internasional, maupun dalam narasi aksi-aksi nasional.
Media arus utama memang tidak pernah mengatakannya, namun pembingkaian semacam ini selaras dengan narasi yang mengandung muatan kebencian terhadap kaum Yahudi. Situs-situs yang lebih keras, bahkan memelintir kampanye kemanusiaan dengan artikel-artikel yang menyatakan bahwa masalah Palestina bukan hanya  “masalah kemanusiaan” namun juga “masalah agama”.
Dalam narasi ini, isu kemanusaiaan dianggap sebagai penyederhanaan masalah yang dipertaruhkan oleh mereka adalah “akidah” dan “syariah”. Solusinya, dengan demikian adalah mengembalikan Palestina yang diduduki oleh Israel pada kaum muslim, menjadikannya khalifah dan mengusir kaum Yahudi dari tanah tersebut.
Dalam narasi ini, kaum Yahudi dianggap sebagai sekumpulan orang jahat dan ingin menghancurkan Islam. Sebagian bahkan meyakini bahwa Yahudi ingin menguasai dunia. Orang Yahudi dibayangkan sebagai manifestasi Dajjal sejak dari sperma dan indung telurnya.
Narasi semacam ini senada atau bahkan dipengaruhi langsung oleh Teori-teori konspirasi anti-Yahudi yang berkembang di Eropa sejak abad 19.
Yang akhirnya menjustifikasi tindakan Nazi Jerman dalam melakukan Holocaust.

Menariknya,
sementara orang Yahudi  memang banyak yang tinggal di Eropa, sebagian besar warga Indonesia yang membenci Yahudi tidak pernah melihat atau berinteraksi dengan subjek kebenciannya itu.
Namun, kebencian banyak orang Indonesia terhadap Yahudi serta persepsi bahwa masalah Palestina adalah masalah agama dimunculkan oleh Anggapan bahwa:
Kaum Yahudi adalah kaum yang Tunggal, yang tidak memiliki perbedaan dan konflik internalnya tersendiri.
Anggapan ini diperkuat oleh penggambaran Yahudi di Media. Dalam membahas Lobi Politik misalnnya, media-media di Indonesia selalu berdokus pada AIPAC (The American Israel Public Affairs Committe), lembaga Yahudi yang punya pengaruh politik kuat di Amerika. Kelompok tersebut memang punya pengaruh kuat dalam politik Amerika, namun fokus media ini meredam suara-suara lain, kelompok lain dalam masyarakat Israel dan Yahudi secara umum.
Media kita jarang sekali menulis soal JVP (Jewish Voice of Peace) yang beranggotakan komunitas Yahudi di Amerika, yang aktif menolak berdirinya negara Israel serta mendukung kemerdekaan Palestina.
Kita juga tak pernah mendengar B’Tselem, yakni organisasi Hak Asasi Manusia di Israel yang rajin mengungkap masalah-masalah yang muncul akibat pendudukan Israel di Palestina.
Atau Neturei Karta, yakni kelompok ortodoks Yahudi yang percaya bahwa mendirikan negara Israel sebelum datangnya Mesiah bertentangan dengan ajaran Judaisme.
Di Israel sendiri, terdapat berbagai kelompok , salah satunya MAKI (מק), yakni Partai Komunis Israel yang menentang keras pendudukan dan mendorong pembebasan Palestina.

(Yap, Yahudi Komunis malah menolak pendudukan Israel atas Palestina. Ajaib, kan?)

Alih-alih, menggambarkan Israel sebagai entitas homogen, sebenarnya penting bagi media untuk menggambarkan keberagaman ini.
Tanpa adanya representasi yang jernih atas konflik tersebut, publik akan gagal untuk mengambil sikap. Informasi yang jernih adalah sumbangan paling berharga bagi media untuk perdamaian.

Jadi, apakah Yahudi sebagai bangsa adalah sumber dari konflik ini?
Tidak,

Penggambaran konflik di media secara jernih akan membantu kita membedakan
Yahudi sebagai Ras,
Judaisme sebagai Kepercayaan,
dan Zionisme sebagai Ideologi Politik.
Orang Yahudi sebagaimana orang Jawa, Sunda, Padang, atau Bali, itu beragam.
Beberapa di antaranya memeluk Judaisme, beberapa lainnya memeluk Kristiani, beberapa memeluk Islam, beberapa lagi bahkan tidak percaya agama manapun.
Di antara orang Yahudi yang beragam itu, ada yang percaya bahwa harus ada negara orang Yahudi di Jerusalem. Sebagaimana ada sebagian orang Islam yang percaya bahwa dunia harus diatur dalam sistem Khilafah, atau sebagian orang Komunis yang percaya bahwa perubahan sosial harus melalui revolusi bersenjata.
Pusat konflik antara orang Israel dan Palestina bukanlah antara orang Arab dan Yahudi, bukan antara Islam dan Judaisme. Masalahnya adalah ideologi Zionisme yang menjustifikasi pendudukan atas tanah Palestina, dan tak semua orang Yahudi  menganut Ideologi ini.
Invasi dan pendudukan Israel atas Palestina jelas merupakan masalah kemanusiaan yang serius. Namun, mereduksi permasalahan jadi perkara agama atau ras tidak akan menyelesaikan masalah.
Justru “Rasisme” dan “Permusuhan Agama” dari kedua belah pihak akan menjadi bahan bakar yang membuat konflik tak kunjung mereda.

Sincerely,
Winata (diambil dari coret-coretan tak berguna)


KARMA: MISTISISME & MEDIA





Televisi punya keajaiban kecil yang ganjil. Ia mengambil konseling dari ruang privat yang personal. Lalu membuatnya menjadi hysteria massal, lengkap dengan bumbu alam ghaib. Kemudian memberinya judul Karma.  Banyak remah-remah sungsang yang bisa digali dari reality show “Karma” milik ANTV ini. Dari miskinnya kreativitas para kreator, sampai harus membeli format tayangan TV Thailand (program Secret of Number’s di Thailand), hingga adegan dramatis yang terlalu dramatis hingga kerap dituduh sebagai “settingan”. Namun demikan, tulisan ini tidak membahas mengenai Orisinalitas atau Otentisitas. Karma adalah pewaris sah dari tradisi panjang perkawinan silang antara media dan mistisisme. Namun Kenapa acara semacam ini bisa terus mendapat tempat? Lalu, apa yang bekerja dibalik fenomena mistisisme di televisi?

KARMA
Duet maut Anak Indigo dan Host yang populer di televisi ini setia mempertontonkan tiap detik karma buruk yang diderita manusia selepas jam tonton anak.

“Apakah Guna-guna?”…………….. ……………..*Jreng  (sound effect)
“KDRT”?................................................................*Jrung (sound effect)
“atau Diteror Sosok Makhluk Ghaib?”………… * Eaaa  (sound effect)
-Robby Purba (host) pada salah satu episode Karma di ANTV-

Dalam setiap episode, Roy Kiyoshi (sang Anak Indigo) akan mengamalkan “Endusan” supratanaturalnya dan memilih satu nomor yang merupakan tanggal lahir seorang peserta.

“Sembilan” *jengjengjeng….. (sound effect)
-Roy Kiyoshi (sang Anak Indigo)
Kemudian sang peserta akan menceritakan keluh kesah hidupnya. Layaknya dokter segala ilmu, kemudia Roy akan menjatuhkan vonis tentang masalah-masalah tersebut

“Rasa sakit saya tuh masih ada semenjak dia selingkuh….”
“Kadang emang kurang percaya diri yah….”
-Salah seorang peserta menceritakan keluh-kesah hidupnya-

Apakah keluhan tersebut disebabkan hal duniawi atau ghaib? Karma buruk apa yang menimpanya? Hingga apa yang mesti dilakukan untuk mengobati penderitaan itu? Semua akan dijelaskan oleh Roy Kiyoshi. Tiap episode tayangan ini penuh dengan aksi nyentrik si anak Indigo tersebut. Mulai dari “Muntah Darah”, “Lampu studio yang mati setelah kesaksian penyembah Dajjal”, hingga “peserta yang menjomblo karena berjodoh dengan jin LGBT”. Menariknya absurditas yang sudah cukup purba ini adalah fenomena yang relatif baru dalam sejarah pertelvisian kita.

Fenomena larisnya mistisisme dalam dunia pertelevisian sebenarnya berawal pada era Orde Baru, dimana pada saat itu genre horror berkembang pesat di Indonesia, tonggaknya yaitu dimulai dari “meledaknya” film Ratu Ular (1972). Film-film ini bereksperimen dengan berbagai macam formula dengan menyelipkan adegan panas sebagai pemanis tambahan ataupun komik (seperti pada komik “Siksa Neraka” yang sempat laris manis*).

Menanggapi film horror yang menjamur, Dewan Film Nasional menerbitkan “Kode Etik Badan Sensor Film” pada tahun 1980. Kode etik ini mewajibkan penyertaan sosok protagonist religious sebagai pahlawan yang akan menjadi penyelamat dalam film horror. Dampaknya adalah genre horror di Indonesia dikuasai oleh satu narasi yang sama, yaitu “Baik vs Buruk” atau lebih tepatnya “Kyai vs Setan”. Pada era ini, televisi relatif bersih dari tayangan mistis, karena pada saat itu hanya ada satu stasiun televisi yakni TVRI yang dikontrol dengan ketat oleh Negara.

Pada akhir Orde Baru, mistisisme mulai muncul di televisi seiring dengan tumbuhnya stasiun televisi swasta. Sebut saja, misal “Si Manis Jembatan Ancol”, “Jin dan Jun”, atau “Tuyul dan Mbak Yul”. Tayangan-tayangan mistis ini pun kerap digugat oleh publik, “Si Manis Jembatan Ancol”, misalnya digugat karena tidak menampilkan pesan dan sosok religious. Sedangkan, “Jin dan Jun” atau “Tuyul dan Mbak Yul” digugat karena menggambarkan sosok makhluk astral dengan karakter ramah & baik hati. Secara keseluruhan, publik juga menggugat tayangan mistis, karena dianggap menjauhkan Agama, & Realitas. Seiring dengan lengsernya Orde Baru, Kode Etik Badan Legislasi Film juga turut lengser dari perhatian media. Mistisisme semakin menjamur dan hadir dalam berbagai bentuk, dari Infotainment seperti “Kismis” & “Silet” hingga Reality Show semacam “Dunia Lain” & “Mister Tukul Jalan-Jalan”.

Van Hereen dalam buku Contemporary Indonesian Film: Spirits of Reform and Ghosts from the Past menjelaskan adanya 2 (dua) perubahan signifikan yang terjadi pada tayangan mistisisme setelah reformasi, yaitu:
1.    Khalayak,
a)    Pada masa Orde Baru, tayangan mistisisme seakan menyasar khalayak yang Spesifik, yaitu masyarakat Kelas Bawah. Hal ini disimpulkan berdasarkan latar dan penokohan yang dekat dengan kalangan kelas bawah.
b)    Setelah Reformasi, tayangan mistisisme menyasar lapisan kelas lainnya. Dengan latar yang bergeser ke perkotaan, narasi yang tidak lagi memerlukan sosok religious, dan ditayangkan di bioskop mewah.

2.    Representasi
a) Pada masa Orde Baru, Mistisisme ditayangkan melalui sinetron dan kisah fiksi
b) Setelah Reformasi, Mistisisme tayang dalam format “Reality Show”. Sebagaimana nama genre-nya, Reality Show mendobrak horror dan mistisisme era Orde Baru yang sekedar “fiksi”. Sekedar “karangan” menjadi sesuatu yang “nyata”. Perubahan tren ini seakan mengatakan bahwa mistisisme merupakan suatu bagian yang tak hisa dilepaskan dari realitas kehidupan masyarakat Indonesia.

“Karma” membawa mistisisme satu langkah lagi lebih jauh, yaitu dengan meruntuhkan sekat-sekat kepercayaan Khalayak. Sebelum “Karma”, mistisisme kerap dibingkai dalam sudut pandang adat istiadat seperti “kejawen” ataupun “agama”. Karma menawarkan mistisisme yang beragam, alam ghaib versi “Karma” adalah alam ghaib yang Multikutural, lintas keyakinan, dan lintas Ilmu. “Karma” dapat membingkai mistisisme melalu perspektif Kejawen, Islam, Psikiatri, atau Okultisme ala Hollywood dan Pseudo-Sains ala New Age. Segala perspektif tadi dikemas dengan formula pasca-produksi yang sama dengan sinetron, mulai dari “sound effect yang mencekam” hingga “close-up di adegan yang menegangkan. Bahkan, terkadang kisah peserta sama absurdnya dengan sinetron, sehingga tidak heran jika ANTV menayangkan “Karma The Series” sebagai adaptasi kisah peserta dalam bentuk FTV.

Mistisisme seringkali menjadi sumber ketakutan, entah karena anda itu percaya pada makhluk ghaib atau karena anda takut kepercayaan itu akan merusak generasi muda.
Namun, apapun sikap anda terhadap mistisisme, bentuk dan cara pandang kita terhadap dunia mistis selalu berubah. Dari kepercayaan tentang arwah demit dan arwah leluhur dalam kearifan lokal, Jin dan Khadam dalam agama Islam, hingga makhluk astral dan frekuensi elektromagnetik dalam sains gadungan Parapsikologi. Setiap sistem kepercayaann ini pernah hilir-mudik dalam pertelivisian kita, timbul-tenggelam tergantung pada seberapa besar rating yang ia hasilkan.

Wacana ghaib pun seringkali punya irisan dengan gejolak sosial politik yang terjadi dalam dunia manusia. Mulai dari maraknya jin LGBT seiring dengan naiknya isu LGBT di media (Simak salah satu episode Ruqyah di Trans 7), hingga munculnya hantu Komunis bersamaan dengan isu pelanggaran HAM pada 1965 (Simak episode Mister Tukul Jalan-Jalan di Trans 7)

Barangkali misteri dan ketakutan ini bukan berasal dari makhluk halus atau imajinasi tentang dampak sosial yang ia bawa, melainkan dari sesuatu yang sepenuhnya lain. Dunia yang kita tinggali sangat lah kompleks. Kesemerautan yang sukar untuk dipahami, dan selalu berubah. Kita seringkali dibuat tidak percaya dengan hasrat orang untuk mengeruk profit sambal mengesampingkan segala hal lainnya. Atau perilaku orang yang sama sekali asing dan berbeda dari nilai-nilai yang kita pegang teguh. Betapa pun kita berusaha, kita tidak punya kendali penuh atas dunia kita. Selalu ada sesuatu yang mengganggu, yang tidak terduga.

Mitos dan mistisisme memberi nama dan bentuk pada kekacauan ini dan membuatnya bisa dipahami. Dengan demikian, mistisisme bukan sekedar karangan atau takhayul buta, meski tak bisa dianggap sebagai kenyataan sepenuhnya. Ia adalah cermin bagi pengalaman kita dengan dunia dan membuat kita merasa memiliki kendali atas dunia. Misal, “Bahwa Ruqyah bias mengusir jin LGBT” atau “Bertindak baik bisa mendatangkan karma baik”.

Kita tidak takut pada setan atau jin, mereka justru menyelamatkan kita. Tanpa Mistisisme atau kepercayaan pada hal lain seperti agama atau sains, dunia jadi tidak bisa dipahami. Dan manusia takut pada hal-hal yang tidak bisa dipahami, karena itu juga berarti bahwa ita tidak punya kendali. Namun, dengan begitu banyaknya penjelasan tentang dunia, baik melalui mistisisme, agama ataupun sains yang berkeliaran di media (termasuk yang sedang anda baca), apakah anda benar-benar memiliki kendali? Atau justru sebaliknya?


Tayangan halaman minggu lalu

Diberdayakan oleh Blogger.

Mengenai Saya

Foto saya
Kunang-kunang, dulu aku kecil, kau-pun juga. Sekarang aku besar, tapi kau masih tetap saja kecil. Andai ada kunang-kunang sebesar diriku, maka akan teranglah dunia.

Pengikut