Televisi
punya keajaiban kecil yang ganjil. Ia mengambil konseling dari ruang privat
yang personal. Lalu membuatnya menjadi hysteria massal, lengkap dengan bumbu
alam ghaib. Kemudian memberinya judul Karma.
Banyak remah-remah sungsang yang bisa digali dari reality show “Karma” milik
ANTV ini. Dari miskinnya kreativitas para kreator, sampai harus membeli format
tayangan TV Thailand (program Secret of
Number’s di Thailand), hingga adegan dramatis yang terlalu dramatis hingga
kerap dituduh sebagai “settingan”. Namun demikan, tulisan ini tidak membahas
mengenai Orisinalitas atau Otentisitas. Karma adalah pewaris sah dari tradisi
panjang perkawinan silang antara media dan mistisisme. Namun Kenapa acara semacam ini bisa terus mendapat
tempat? Lalu, apa yang bekerja dibalik fenomena mistisisme di televisi?
KARMA
Duet maut Anak Indigo dan Host yang
populer di televisi ini setia mempertontonkan tiap detik karma buruk yang
diderita manusia selepas jam tonton anak.
“Apakah Guna-guna?”……………..
……………..*Jreng (sound effect)
“KDRT”?................................................................*Jrung
(sound effect)
“atau Diteror Sosok Makhluk
Ghaib?”………… * Eaaa (sound effect)
-Robby Purba (host) pada salah satu episode Karma di
ANTV-
Dalam setiap episode, Roy Kiyoshi
(sang Anak Indigo) akan mengamalkan “Endusan” supratanaturalnya dan memilih
satu nomor yang merupakan tanggal lahir seorang peserta.
“Sembilan” *jengjengjeng…..
(sound effect)
-Roy
Kiyoshi (sang Anak Indigo)
Kemudian sang peserta akan menceritakan
keluh kesah hidupnya. Layaknya dokter segala ilmu, kemudia Roy akan menjatuhkan
vonis tentang masalah-masalah tersebut
“Rasa sakit saya tuh
masih ada semenjak dia selingkuh….”
“Kadang emang kurang
percaya diri yah….”
-Salah
seorang peserta menceritakan keluh-kesah hidupnya-
Apakah keluhan tersebut disebabkan hal
duniawi atau ghaib? Karma buruk apa yang menimpanya? Hingga apa yang mesti
dilakukan untuk mengobati penderitaan itu? Semua akan dijelaskan oleh Roy
Kiyoshi. Tiap episode tayangan ini penuh dengan aksi nyentrik si anak Indigo
tersebut. Mulai dari “Muntah Darah”, “Lampu studio yang mati setelah kesaksian
penyembah Dajjal”, hingga “peserta yang menjomblo karena berjodoh dengan jin
LGBT”. Menariknya absurditas yang sudah cukup purba ini adalah fenomena yang relatif
baru dalam sejarah pertelvisian kita.
Fenomena larisnya mistisisme dalam
dunia pertelevisian sebenarnya berawal pada era Orde Baru, dimana pada saat itu
genre horror berkembang pesat di Indonesia, tonggaknya yaitu dimulai dari “meledaknya”
film Ratu Ular (1972). Film-film ini bereksperimen dengan berbagai macam
formula dengan menyelipkan adegan panas sebagai pemanis tambahan ataupun komik (seperti pada komik “Siksa Neraka” yang
sempat laris manis*).
Menanggapi film horror yang menjamur,
Dewan Film Nasional menerbitkan “Kode Etik Badan Sensor Film” pada tahun 1980.
Kode etik ini mewajibkan penyertaan sosok protagonist religious sebagai
pahlawan yang akan menjadi penyelamat dalam film horror. Dampaknya adalah genre
horror di Indonesia dikuasai oleh satu narasi yang sama, yaitu “Baik vs Buruk” atau lebih tepatnya “Kyai vs Setan”. Pada era ini, televisi relatif
bersih dari tayangan mistis, karena pada saat itu hanya ada satu stasiun televisi
yakni TVRI yang dikontrol dengan ketat oleh Negara.
Pada akhir Orde Baru, mistisisme mulai
muncul di televisi seiring dengan tumbuhnya stasiun televisi swasta. Sebut saja,
misal “Si Manis Jembatan Ancol”, “Jin dan Jun”, atau “Tuyul dan Mbak Yul”.
Tayangan-tayangan mistis ini pun kerap digugat oleh publik, “Si Manis Jembatan
Ancol”, misalnya digugat karena tidak menampilkan pesan dan sosok religious.
Sedangkan, “Jin dan Jun” atau “Tuyul dan Mbak Yul” digugat karena menggambarkan
sosok makhluk astral dengan karakter ramah & baik hati. Secara keseluruhan,
publik juga menggugat tayangan mistis, karena dianggap menjauhkan Agama, & Realitas.
Seiring dengan lengsernya Orde Baru, Kode Etik Badan Legislasi Film juga turut
lengser dari perhatian media. Mistisisme semakin menjamur dan hadir dalam
berbagai bentuk, dari Infotainment
seperti “Kismis” & “Silet” hingga Reality
Show semacam “Dunia Lain” & “Mister Tukul Jalan-Jalan”.
Van
Hereen dalam buku Contemporary
Indonesian Film: Spirits of Reform and Ghosts from the Past menjelaskan
adanya 2 (dua) perubahan signifikan yang terjadi pada tayangan mistisisme
setelah reformasi, yaitu:
1. Khalayak,
a) Pada
masa Orde Baru,
tayangan mistisisme seakan menyasar khalayak
yang Spesifik, yaitu masyarakat Kelas Bawah. Hal ini disimpulkan
berdasarkan latar dan penokohan yang dekat dengan kalangan kelas bawah.
b) Setelah
Reformasi, tayangan
mistisisme menyasar lapisan kelas lainnya. Dengan latar yang bergeser ke
perkotaan, narasi yang tidak lagi memerlukan sosok religious, dan ditayangkan
di bioskop mewah.
2.
Representasi
a) Pada masa Orde Baru, Mistisisme ditayangkan melalui sinetron dan
kisah fiksi
b) Setelah Reformasi, Mistisisme tayang dalam format “Reality Show”.
Sebagaimana nama genre-nya, Reality Show mendobrak horror dan mistisisme era
Orde Baru yang sekedar “fiksi”. Sekedar “karangan” menjadi sesuatu yang “nyata”.
Perubahan tren ini seakan mengatakan bahwa mistisisme merupakan suatu bagian
yang tak hisa dilepaskan dari realitas kehidupan masyarakat Indonesia.
“Karma” membawa mistisisme satu
langkah lagi lebih jauh, yaitu dengan meruntuhkan sekat-sekat kepercayaan Khalayak. Sebelum “Karma”, mistisisme
kerap dibingkai dalam sudut pandang adat istiadat seperti “kejawen” ataupun “agama”.
Karma menawarkan mistisisme yang beragam, alam ghaib versi “Karma” adalah alam
ghaib yang Multikutural, lintas keyakinan, dan lintas Ilmu. “Karma” dapat
membingkai mistisisme melalu perspektif Kejawen, Islam, Psikiatri, atau Okultisme ala Hollywood dan Pseudo-Sains ala New Age. Segala perspektif
tadi dikemas dengan formula pasca-produksi yang sama dengan sinetron, mulai
dari “sound effect yang mencekam”
hingga “close-up di adegan yang
menegangkan. Bahkan, terkadang kisah peserta sama absurdnya dengan sinetron, sehingga
tidak heran jika ANTV menayangkan “Karma The Series” sebagai adaptasi kisah
peserta dalam bentuk FTV.
Mistisisme seringkali menjadi sumber
ketakutan, entah karena anda itu percaya pada makhluk ghaib atau karena anda
takut kepercayaan itu akan merusak generasi muda.
Namun, apapun sikap anda terhadap
mistisisme, bentuk dan cara pandang kita terhadap dunia mistis selalu berubah.
Dari kepercayaan tentang arwah demit dan arwah leluhur dalam kearifan lokal,
Jin dan Khadam dalam agama Islam, hingga makhluk astral dan frekuensi elektromagnetik
dalam sains gadungan Parapsikologi. Setiap sistem kepercayaann ini pernah
hilir-mudik dalam pertelivisian kita, timbul-tenggelam tergantung pada seberapa
besar rating yang ia hasilkan.
Wacana ghaib pun seringkali punya
irisan dengan gejolak sosial politik yang terjadi dalam dunia manusia. Mulai
dari maraknya jin LGBT seiring dengan naiknya isu LGBT di media (Simak salah satu episode Ruqyah di Trans 7),
hingga munculnya hantu Komunis bersamaan dengan isu pelanggaran HAM pada
1965 (Simak episode Mister Tukul
Jalan-Jalan di Trans 7)
Barangkali misteri dan ketakutan ini
bukan berasal dari makhluk halus atau imajinasi tentang dampak sosial yang ia
bawa, melainkan dari sesuatu yang sepenuhnya lain. Dunia yang kita tinggali
sangat lah kompleks. Kesemerautan yang sukar untuk dipahami, dan selalu
berubah. Kita seringkali dibuat tidak percaya dengan hasrat orang untuk
mengeruk profit sambal mengesampingkan segala hal lainnya. Atau perilaku orang
yang sama sekali asing dan berbeda dari nilai-nilai yang kita pegang teguh.
Betapa pun kita berusaha, kita tidak punya kendali penuh atas dunia kita.
Selalu ada sesuatu yang mengganggu, yang tidak terduga.
Mitos dan mistisisme memberi nama dan
bentuk pada kekacauan ini dan membuatnya bisa dipahami. Dengan demikian,
mistisisme bukan sekedar karangan atau takhayul buta, meski tak bisa dianggap
sebagai kenyataan sepenuhnya. Ia adalah cermin bagi pengalaman kita dengan
dunia dan membuat kita merasa memiliki kendali atas dunia. Misal, “Bahwa Ruqyah
bias mengusir jin LGBT” atau “Bertindak baik bisa mendatangkan karma baik”.
Kita
tidak takut pada setan atau jin, mereka justru menyelamatkan kita. Tanpa
Mistisisme atau kepercayaan pada hal lain seperti agama atau sains, dunia jadi
tidak bisa dipahami. Dan manusia takut pada hal-hal yang tidak bisa dipahami,
karena itu juga berarti bahwa ita tidak punya kendali. Namun, dengan begitu
banyaknya penjelasan tentang dunia, baik melalui mistisisme, agama ataupun
sains yang berkeliaran di media (termasuk yang sedang anda baca), apakah anda
benar-benar memiliki kendali? Atau justru sebaliknya?