Halloo!

Perkenalkan, Saya Eko Surya Winata!

Knowledge is Power

"Tulisan ini ngawur, sama kayak yang nulis" - Ayah

Tulisan Berbahaya!

"Maksudnya apa sih ini?" - Ibu

www.twitter.com/ekoswinata

Berteman dengan Eko Surya Winata di Twitter

Salam Kenal

Menulis Adalah Kerja untuk Keabadian!

Selasa, 29 Januari 2013

Ulama dan Singa

Suatu hari terdapat seorang ulama yang tengah tersesat di hutan.
Hutan itu begitu gelap, saking gelapnya tak ada satupun celah bagi cahaya untuk dapat menembus ke dalam hutan.
Di sekeliling hutan hanya terlihat pohon-pohon rindang dan suara-suara hewan liar.

Di dalam hutan, sang ulama berjalan sambil memendam rasa takut.
Ia mencoba mencari cahaya matahari guna mendapati arah jalan keluar.
Sial tak dapat dicegah, sang ulama bertemu seekor singa di tengah hutan.
Sang singa melihatnya dan berlari kencang ke arahnya.
Sang ulamapun panik dan berlari.
Terjadilah adegan kejar-kejaran antara ulama dan singa.

Begitulah kerennya manusia, kalo terdesak ia mampu melakukan sesuatu yang sebelumnya dianggap itu tidak dapat dilakukan.
Buktinya, sang ulama mampu berlari kencang dan mendapati cahaya matahari.
Dan akhirnya ia mampu keluar dari hutan.
Sesaat ia keluar dari hutan ternyata ia menuju jurang.
Sontak sang ulama pun berhenti berlari, begitupun sang singa.

Sang ulama menghadap ke belakang dan memohon kepada singa agar tidak memakannya.
Sang singa yang lapar sudah memandangnya dengan perut yang berbunyi "kriuk..kriuk" tanda lapar.
Lalu sang ulama menutup mata, berdoa kepada Allah meminta agar si singa tidak memakannya.
Lalu apa yang dilakukan singa saat sang ulama tersebut membuka mata sehabis berdoa?
Sang singa juga sedang berdoa, doa untuk makan.

Cogito ala Derrida

Saya ga percaya dengan anjuran dokter syaraf. Katanya, selama sakit pendarahan otak kecil, saya harus istirahat berpikir. Sedikit tambahan tulisan untuk buku catatanku

Konsepsi tentang subjek ('aku') dalam sejarah filsafat modern sejak Rene Descartes (cogito ergo sum) bahwa subjek itu lengkap-bulat, ditolak derrida. Bagi Derrida konsepsi ala cogito ergo sum (aku berpikir maka aku ada) mengandaikan aku yang lepas dari relasi dengan unsur-unsur yang kendati mempengaruhinya. Bagi Derrida, aku cogito tak memiliki esensi metafisik, sempurna atau cukup bagi dirinya sendiri karenabia tumbuh oleh relasi bahasa Aku bagai modus semiosis Derrida muncul tak lengkap, nampak terpengaruh oleh psikoanalisis Jacques Lacan, aku dibentuk oleh teks-diskursus.

Terpengaruh konsepsi inter-subjektivitas oleh fenomenologi, Derrida menggantikannya dengan "intertekstual" yang mengandaikan terkuburnya subjek. Jelas karena 'aku' bentukan bahasa, bagi Derrida tak mungkin ada yg namanya individualisme, subjektivisme, humanisme, dll. Makanya, coba aja kalo Derrida main twitter dia pasti takjub dengan permainan bahasa twitter yg masing-masing akun punya ketrampilan khusus, itulah parole. Tapi Derrida tak menarik bahasa pada sisi struktur-lingguistik, bahasa baginya adalah diskursus, percakapan sebagai parole, wilayah pluralitas makna. Nah, kalo kita ketemu ada akun lain yg membetulkan/merevisi bahasa akun kita, optimisnya bagi Derrida pasti akun itu mau show off  kekuasaannya. Tapi ketika ada power yg menyatukan semua akun harus menggunakan makna tunggal bahasa maka terciptalah langue, struktur, twitter berantakan.

Bersama pemikir post struktural; Foucault, Barthes, Lyotard, Baudrillard, Deleuze, yang tak yakin pada subjek cogito, mereka sabdakan manusia sudah mati. Karena 'aku' adalah bentukan teks dan teks itu adalah intensitas (menunjuk ke  luar diri) maka jelas realitas sosial adalah sebuah 'jaringan tekstual'. Pada dimensi filsafat sebagai tindakan, pemikiran Derrida bersentuhan dengan filsafat bahasa Wittgenstein-2 dan filsafat performans John l Austin. Derrida dengan modus bahasa intertekstualnya membawa filsafat dari karakter refleksif/meditatif ke "modus tindakan". Bagi Derrida filsafat bukan bertugas mendefinisikan kebenaran dalam makna linguistik-logosentrisme, tapi menunjuk rangkaian tak ajeg. Derrida menarik filsafat dari angkasa ke sudut-sudut/marjin kasuistik, tiap kasus tak lepas dari kasus lainnya sebagai relasi semiosis. Dari konsepsi realitas semiosis inilah Derrida menolak hermenetika tentang subjek cogito yg menohok ke balik teks untuk temukan makna abadi. Tiap kasus atau pendefinisian bagi Derrida tidak hadir sebagai subjek penuh tapi bak perca yg lalu kita coba tempel dengan makna-makna yang mudah rapuh. Bagi Derrida menginterpretasi teks tidak untuk menemukan makna di balik teks itu, tapi bagaimana menangkapnya sebagai tanda-tanda untuk ciptakan makna baru.

Apakah Derrida anti atas hermenetika pencerahan yang demikian optimis dengan kekuatan subjek untuk temukan makna-kebenaran? Jawabannya ya, Derrida menolak optimisme hermenetika subjek dari Descartes sampe Husserl bahwa realitas seperti diadili di depan pikiran. Tiap teks adalah bentukan proses semiosis, rangkaian penanda yg infinit. Bagaimana mungkin kita mendekatinya dengan asumsi ada makna abadi di baliknya? Sejarah intepretasi merupakan pergumulan penanda yang hanya mampir sebentar di setiap halte - adakah terminal terakhir? Setiap interpretasi bagi Derrida adalah parole, karya yang tak bulat tp dengan begitulah dia justru kaya makna, yang bisa kita sebut sebagai 'kebudayaan'. Lalu di sinilah program dekonstruksi Derrida, berpikir adalah bertindak dgn mencipta makna baru atas ketidakhadiran penuh makna itu sendiri.

Tayangan halaman minggu lalu

Diberdayakan oleh Blogger.

Mengenai Saya

Foto saya
Kunang-kunang, dulu aku kecil, kau-pun juga. Sekarang aku besar, tapi kau masih tetap saja kecil. Andai ada kunang-kunang sebesar diriku, maka akan teranglah dunia.

Pengikut