Halloo!

Perkenalkan, Saya Eko Surya Winata!

Knowledge is Power

"Tulisan ini ngawur, sama kayak yang nulis" - Ayah

Tulisan Berbahaya!

"Maksudnya apa sih ini?" - Ibu

www.twitter.com/ekoswinata

Berteman dengan Eko Surya Winata di Twitter

Salam Kenal

Menulis Adalah Kerja untuk Keabadian!

Jumat, 27 April 2012

ANALISIS REVIEW FILM CAPITALISM: A LOVE STORY (FILM OLEH: MICHAEL MOORE)


PENDAHULUAN


Michael Moore adalah seorang penulis buku dan sutradara film di Amerika Serikat. Ia adalah putra dari Frank dan Veronika Moore. Moore yang lahir pada 23 April 1954 banyak menghabiskan masa kanak-kanaknya dalam bidang seni drama dan debat. Singkat cerita, Moore memang sepanjang hidupnya setia untuk terjun menjadi sineas Amerika Serikat yang vokal mengkritik kebijakan-kebijakan pemerintah AS, salah satunya kebijakan perang Irak yang dikobarkan presiden George W. Bush. Lewat film-film dokumenter dan tulisannya yang populis, nama Moore pada tahun 2005 sempat memasuki daftar 100 orang paling berpengaruh di dunia versi majalah TIME.

Moore memang terjun bebas menyuarakan pandangan politiknya. Dalam karya-karyanya, Moore secara jujur menyajikan fakta-fakta dibalik sistem ekonomi politik di Amerika Serikat yang notabene adalah negara terkaya di muka bumi. Selain tulisan-tulisannya, seperti: Stupid White Men pada tahun 2001; dan Dude, Where's My Country? Pada tahun 2003; Film-film Moore tak lebih radikal seperti: Roger & Me; Pets or Meat: The Return to Flint; Sicko; Captalism: A Love Story, dsb.

Setelah sukses lewat film Sicko di tahun 2007, pada tahun 2009 Moore kembali mengguncang publik lewat film dokumenternya yang berjudul Capitalism: A Love Story. Film Moore yang ramai dibicarakan paska krisis Suprime Mortgage di Amerika Serikat di tahun 2008 ini membuatnya menjadi menarik untuk dibahas. Pasalnya karya ini begitu tajam membongkar fakta dibalik kekokohan sistem kapitalisme di Amerika Serikat, lewat sajian realita yang dibungkus melalui film dokumenter. Oleh karena itu lewat tulisan ini penulis akan mencoba menganlisis review sebuah film besutan Michael Moore yang berjudul Capitalism: A Love Story.


PEMBAHASAN


Sejarah Krisis Ekonomi Amerika Serikat

Amerika Serikat adalah ikon negara yang memiliki sistem ekonomi kapitalisme terkokh di dunia, namun ternyata dibalik kekokohannya tersebut ia kerap kali dilanda krisis mengerikan. Berikut beberapa kejadian krisis yang pernah menimpa Amerika Serikat:

Di awali dengan krisis 1819 yang dikenal sebagai Panic of 1819, kegagalan pembayaran utang menyebabkan bank tutup, pengangguran meningkat, dan ratusan orang dipenjara karena tidak mampu membayar utang;

Krisis 1857, yaitu akibat dari ekspansi para bankir dalam mengucurkan kredit. Krisis ini ditandai dengan gagal bayar sebesar US$ 7 juta yang dialami Ohio Life Insurance, perusahaan asuransi terbesar di Amerika Serikat kala itu.

Krisis 1930, dikenal sebagai Great Depression, diawali dengan jatuhnya Wall Street pada 1929. Wall Street mengalami bubble yang parah.

Krisis 2008, dikenal juga sebagai Suprime Mortgage, yaitu ketidak mampuan para pemilik rumah melakukan pencicilan rumah yang mereka miliki, yang mengakibatkan beberapa perusahaan finansial mengalami guncangan, dampaknya dunia mengalami resesi global. Ditandai juga dengan bangkrutnya perusahaan finansial global Lehman Brothers.

Krisis di Amerika Serikat telah membuktikan bahwa betapa cepat pulihnya mereka kembali dari keadaan resesi, sehingga dampaknya adalah kesadaran kelas menengah hanya terus puas di permukaan dan kaum proletariat yang semakin teralienasi.


Kapitalisme dan Film Capitalism: A Love Story

Dalam film Capitalism: A Love Story, Moore sepertinya sedang berusaha mengungkapkan eksposisi yang luar biasa dari sebuah realitas yang berada di bawah sebuah sistem, dimana miliyaran manusia hidup di dalamnya. Ia mengekspos mengenai apa manfaat dari sistem kapitalisme bagi kehidupan manusia selain merusak dan menghancurkan tatanan peradaban. Moore juga menyebut sebagai financial coup d'etat, saat pemerintah Amerika Serikat menyelamatkan kondisi keuangan dan memberikan jaminan atas Goldman Sachs, sebagai salah satu penguasa finansial di negara kapitalisme terbesar di dunia tersebut.

Moore dan filmnya, secara cerdas mengungkap penderitaan yang dialami kaum buruh dan masyarakat secara umum dengan humor, ironi, serta nuansa musikal yang artistik; dan mengarahkan penontonnya pada muara penegasan bahwa kapitalisme adalah problem. Ia juga menggambarkan kelompok penjahat dalam sistem kapitalisme itu adalah bank-bank besar, perusahaan-perusahaan investasi yang mengelola dan mempertaruhkan uang milik para investor dalam bisnis yang kompleks dan berisiko tinggi, bahkan bisnis perjudian, serta perusahaan-perusahaan yang memecat ribuan karyawannya meski perusahannya meraup keuntungan. Ia juga mengkritik hubungan yang tidak sehat antara bank-bank besar dengan para politisi serta para pejabat kementerian keuangan di AS sehingga berbagai kebijakan yang dikeluarkan pemerintah selalu berpihak pada kepentingan segelintir orang di Wall Street dan bukan untuk kepentingan masyarakat luas.

Tentu kita tahu pondasi dasar dari bangunan sistem ekonomi kapitalisme, yaitu: Private Property; Profit Motivate; Free Contract; Free Trade; dan Competition. Logika demikian terlihat betapa humanistiknya dia- juga ideal bagi dunianya Adam Smith. Namun di sini analisa Marx  tentang kapitalisme membuka cara pandang lain, yang mendorong ke arah pembaruan, dan memang berhasil menelanjangi bobroknya sistem dan atau ideologi kapitalisme tersebut, terutama terhadap ekonomi industri/ makro, namun agak lemah saat menafsirkan pola ekonomi mikro (seperti; pasar saham, valuta, hedge funds, dsb).

Pada tahun 2008, perusahaan-perusahaan besar di Wall Street bertumbangan akibat kerakusan dan kelicikan mereka sendiri dalam berbisnis. Tentu saja, para elit perusahaan tetap untung dan hidup mewah. Yang tumbang hanya pegawai-pegawai kecil yang kehilangan pekerjaan. Pemerintahan AS atas saran-saran para ekonomnya (yang ternyata juga bekerjasama dengan perusahaan-perusahaan yang bangkrut itu) memutuskan untuk mengucurkan ratusan milyar dolar untuk menalangi kerugian perusahaan-perusahaan itu. Yang menjadi korban sesungguhnya tentu saja rakyat AS kebanyakan: mereka bekerja keras mencari uang lalu membayar pajak; uang pajak itulah yang dipakai untuk menalangi Wall Street. Subsidi dan fasilitas kesejahteraan sosial rakyat AS pun dipangkas, karena uangnya habis untuk melindungi para kapitalis itu dari kerugian. Dari sisi keadilan, kebijakan talangan (bailout) ini sungguh absurd: bagaimana mungkin, ada pebisnis yang bangkrut akibat kesalahannya sendiri, lalu rakyat yang disuruh menalangi? Tapi inilah kapitalisme. Logika mereka: kalau pebisnis sampai hancur, rakyat juga yang akan menanggung akibatnya karena perekonomian mandek

Bila dihubungkan dengan demokrasi, sistem kapitalisme sepertinya adalah yang tidak mendukung. Terlebih Marx mengatakan logika masyarakat prvat yang atomistik dan konsep MCM’, adalah pangkal terjadinya praktek penjajahan kelas borjuasi terhadap proletariat atau marjinal. Problematika ini juga didukung oleh kesadaran kelas menengah masyarakat yang hanya puas dipermukaan, yang dengan watak oportunisnya menjadi palang pintu pendukung terhambatnya demokrasi.


PENUTUP


Film Capitalism: A Love Story, secara politik, merupakan karya yang cerdas dan berani, karena ini bukan hanya sekedar sebuah film, tetapi pandangan politiknya yang mewakili apa yang mereka sebut sebagai kelas masyarakat marjinal. Maka tak heran jika film ini jelas akan menjadi perbincangan publik, khususnya publik Amerika Serikat, dan bisa membangkitkan keberanian secara masif dalam menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusian dan meruntuhkan kapitalisme (Greedy) di Amerika Serikat, juga dunia.

Tentu saja, bila kita menggunakan konsep emansipasi dari Teori Kritis, gelombang aksi menentang kapitalisme jelas merupakan sebuah tahapan dalam proses counter-hegemony. Untuk melawan hegemoni kapitalisme, manusia harus menjalani proses penyadaran (emansipasi), agar akhirnya mereka mampu menciptakan masa depan mereka sendiri melalui kehendak dan kesadaran penuh. Gelombang aksi ini, sedikit banyak akan membuat orang bertanya-tanya, tentang adanya kesalahan dari sistem ini, meskipun masih terlalu jauh untuk meruntuhkannya.









DAFTAR PUSTAKA


Buku:


Budiarjo, Miriam. 1977. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia


Prasentyantoko, A. 2008. Bencana Finansial Stabilitas Sebagai Barang Publik. Jakarta: Kompas Media Nusantara.


Renton, David. ed. 2009. Membongkar Akar Krisis Global: Karl Marx dab Frederick EnglesGlobal. Yogyakarta: Resist Book.


Internet:

http://www.wikpedia.com/michael_moore, diakses pada 22 April 2012

http://www.michaelmoore.com/, diakses pada 22 April 2012


Published with Blogger-droid v2.0.4

Kamis, 12 April 2012

Politik (Politea) Bukan Semata Tentang Kekuasaan Pragmatis

Politik adalah nama dalam filsafat untuk menandai penataan kehidupan bersama demi mencapai kebahagiaan. Kebahagiaan yang hendak dicapai dengan politik adalah kebahagiaan yang dihasilkan dari memandangi kebenaran. Kini jarang ( mungkin tak ada) orientasi yang berkait dengan kebenaran. Tapi pernah ada politik yang bertujuan mencapai kebenaran. Pernah ada orang-orang yang berpolitik tanpa kepentingan selain kebenaran. Mereka berjuang menjalankan politik yang adil demi kebenaran.


Politik yang adil jadi soal penting bagi filsafat. Keadilan adalah pokok utama politik. Sebagai kajian filsafat, politik merupakan pikiran karena filsafat hanya berurusan dengan pikiran. Pikiran perpaduan tak terpisahkan antara teori dan praktik (praxis). Politik sebagai kajian filsafat bukan manajemen kepentingan atau usaha untuk mencapai kekuasaan. Bukan juga politik partai. Keadilan adalah nama dalam filsafat yang merujuk kepada kemungkinan kebenaran dari orientasi politik. Keadilan hanya bermakna dalam konteks politik.


Orientasi politik yang berurusan dengan kebenaran berciri umum: orang-orangnya melibatkan diri dengan syarat setia pada kemanusiaan generik politik yang bersentuhan dengan kebenaran memperjuangkan representasi kapasitas kolektif dengan patokan kesetaraan. Politik yang bersentuhan dengan kebenaran menjadikan kapasitas manusia sebagai patokan kesetaraan: manusia punya kapasitas untuk berpikir. Aksioma umum khas politik: Orang bisa berpikir; orang punya kapasitas kebenaran. Kesetaraan adalah maxim politik; sebuah preskripsi, aturan yg ditegakkan untuk mencapai pembebasan yang kolektif dari rezim di luar dirinya kesetaraan bukan program sosial, tidak bisa direncanakan. Bukan juga hasil distribusi ekonomi. Politik & keadilan tak terpisahkan. Keadilan adalah kata yang digunakan filsafat untuk mencapai aksioma egalitarian dalam kejadian politik.


Published with Blogger-droid v2.0.4

Sabtu, 07 April 2012

Kelas Menengah Indonesia



Kalo kelas menengah diharapkan sebagai agen perubahan; baik yg masuk dan di luar sistem sudah seharusnya sama-sama gempur ketidakadilan dan pro kaum marjinal . Hal yang mendasari pernyataan saya adalah karena kelas menengah Indonesia doyan banget pada hal-hal yang bikin nyaman (mapan). Jelasnya lagi kelas menengah Indonesia pengen cepet nyaman (aman) dgn cara-cara instan atau "loncat pagar". Terkadang saya kira kelas menengah di indonesia berbeda dengan kelas menengah di negara Amerika Latin, mereka lebih kritis dan militan. Kalo sastra cermin masyarakat: obsesi kelas menengah kita itu sukses pribadi. Sekolah tinggi, ke luar negeri, kerja di prusahaan gede

Published with Blogger-droid v2.0.4

Selasa, 03 April 2012

Hah, Eksistensialisme? Manusia Pusat Dunia?

Sedikit berkicau tentang eksistensialisme yang merupakan corak filsafat anti-kodrat dan menempatkan manusia sebagai pusat dunianya.


Eksistensialisme manusia dari keberadaannya bukan dari esensinya. Manusia kongkret dan ada di sana, di dunia.

Manusia terlempar di dunia: Keberadaannya di dunia bukan atas pilihannya. Setiap orang sudah menanggung keberadaannya sejak lahir (gen tertentu, keluarga, masyarakat, kondisi alam, dsb).

Paradoks keberadaan manusia: Keberadaan yang bukan pilihannya menjadi tanggung jawabnya. Manusia jatuh dalam masyarakat dan kehidupan sosial. Keberadaan manusia adalah keberadaan dalam dunia, bersama manusia lain. Dunia manusia adalah dunia bersama. Tiga jenis Dunia: Umwelt (dunia fisikal; alam), mitwelt (dunia bersama manusia lain) dan eigenwelt (dunia pribadi).

Setiap manusia adalah subjek: unik dan tak dapat diperbandingkan. Manusia tidak dapat dipahami dari esensinya. Manusia hanya dapat dipahami dari eksistensinya; dari keberadaannya di dunia bersama manusia lain.


Sartre: "Eksistensi mendahului esensi. Selama masih hidup, manusia tidak dapat didefinisikan karena masih berkembang dan belum jelas batasnya"


Jaspers: "Keberadaan manusia lain adalah penegasan kebebasan kita dan hubungan intersubjektif mungkin terjadi"


Sartre: "Neraka adalah orang lain. Keberadaan manusia lain adalah awal kejatuhan eksistensiku sebagai subjek"


Kierkeegard: "Tuhan adalah dasar dan penjamin eksistensi manusia; penjamin kebebasan"


Nietzsche: "Tuhan sudah mati. Manusia membunuhnya. Kematian tuhan menyebabkan manusia harus menentukan nilainya sendiri"


Nietzsche: "Untuk bisa menjadi pencipta, manusia harus jadi penghancur, juga menghancurkan tuhan sebagai nilai moral dasar"


Berdyaev: "Kebebasan tanpa syarat dan tanpa kompromi adalah kebebasan dalam Tuhan. Kebebasan baru bermakna jika dihadapkan pada imperatif (keharusan) di hadapan manusia-manusia lain yang juga bebas. Pandangan dunia manusia berbeda-beda; setiap orang memiliki pandangan dunia masing-  masing yang unik. Esensi tidak dapat ditangkap; selalu terletak pada putusan subjek"


Kierkegaard: "Manusia pada dasarnya adalah pelaku  (doer) bukan penahu (knower). Filsafat jangan instruktif, melainkan harus terlibat dalam kehidupan. Hidup bukanlah sebagaimana yang kita pikirkan, melainkan sebagaimana yang kita hayati. Manusia yang konkret dan nyata adalah yang individual dan subyektif. Manusia adalah pengambil keputusan dalam eksistensinya"


Nietzsche: "Rayakanlah hidup! Cintai takdirmu! Terima apa yang terjadi, juga penderitaan dan rasa sakit, sebagai hal baik. Hidup adalah apa yang kita lakukan hingga saatnya kita mati"


Sartre: "Tak ada kenyataan kecuali dalam tindakan. Manusia dikutuk untuk bebas; karena sekali ia terlempar ke dunia, ia bertanggungjawab atas apa yang dilakukannya"



Eko Surya Winata: "Aku cinta kau itu urusanku, bagaimana kau padaku itu bukan urusanku"


Published with Blogger-droid v2.0.4

Senin, 02 April 2012

Menolak Logosentrisme?

Dalam logos/langue mata intelek kita dikenai kacamata kuda agar mencapai kesimpulan atau rumus-rumus yg bermakna tunggal/ilmiah. Disiplin filsafat, ilmu maupun teologi saling berebutan posisi, mengklaim dirinya "kebenaran (tunggal)", makanya sikut-sikutan deh sampe skrg. Rumus atau kesimpulan ilmiah/filosofis yg bermakna tunggal itulah oleh filsuf Prancis, yaitu Derrida dinamakan "Logosentrisme". Logosentrisme pun membuat pikiran/mentalitas barat mendiskreditkan yg mereka bilang bukan barat, timur (tak punya logos = kebenaran).

Bahasa (logosentrisme) oleh Louis Althusser dilihat sebagai ideologi untuk jelaskan tentang cerita perjalanan kelas masyarakat. Dengan Althusser memasukkan bahasa ke dalam analisa sejarah sosial maka gerakan pemikiran kiri mulai membangun tradisi bahasa. Sama halnya pada kaum liberal, logosentrisme digunakan sebagai cerita tentang perjuangan kesadaran individual dan HAM. Baik kaum kiri maupun kanan sama-sama mengidap penyakit logosentrisme, klaim dirinya sebagai kebenaran tunggal/universalisme. Dengan istilah "logosentrisme" itulah Derrida menunjukkan penyakit arogansi pemikiran/filsafat barat!. "Logosentrisme" itu yg kemudian dibongkar oleh Derrida atau dgn istilah "dekonstruksi"!

Dekonstruksi melihat bahasa lebih pada makna perbedaan, jelas menolak hukum kacamata kuda yg melihat satu sama dengan kesamaan. Derrida menolak bahasa warisan aristotelian, pencipta logika, yg mencari makna/semantik sampai pada apa yg disebut "soul". Bagi Aristoteles makna bahasa bisa ditemukan pd ekspresi dari jiwa yg terwujud lewat kata-kata, yakni bahasa lisan. Menurut aristoteles bahasa lisan simbol dari jiwa, sementara bahasa tulisan simbol dari bahasa lisan, jd pentingnya bahasa pd lisannya. Sementara bagi Derrida bahasa lisan itu sebenarnya adalah bahasa tulisan, yg trlebih dulu menjejak di pikiran kita. Bagi Derrida tidak ada bahasa sebagai ekspresi murni, maka tidak ada subjek berbahasa (aku) yg bersifat metafisis sebgaimana pada Aristoteles itu. Ketika kita berbahasa seolah kita hadir langsung sebagai subjek pada teman atau lawan bicara, padahal tidak, ada makna yg tertunda dalam pembicaraan. Derrida mengedepankan perbedaan makna dari status kita berbahasa, jelas menolak logosentrisme. Dan memunculkan aliran poststrukturalis/postmodern.


" Dalam dunia makna jelas kita lepas dari konsep diri aku dan kamu sebagai dua yg berbeda dan saling mengobjek, relasi kita antar-subjek. Aku mengalami hidup bukan bagi dunia yang dideskripsikan namun dalam pengalaman2ku yg kuhayati sendiri scr eksistensial, kusadari sendiri" (Winata:69)


Published with Blogger-droid v2.0.4

Tayangan halaman minggu lalu

Diberdayakan oleh Blogger.

Mengenai Saya

Foto saya
Kunang-kunang, dulu aku kecil, kau-pun juga. Sekarang aku besar, tapi kau masih tetap saja kecil. Andai ada kunang-kunang sebesar diriku, maka akan teranglah dunia.

Pengikut