Halloo!

Perkenalkan, Saya Eko Surya Winata!

Knowledge is Power

"Tulisan ini ngawur, sama kayak yang nulis" - Ayah

Tulisan Berbahaya!

"Maksudnya apa sih ini?" - Ibu

www.twitter.com/ekoswinata

Berteman dengan Eko Surya Winata di Twitter

Salam Kenal

Menulis Adalah Kerja untuk Keabadian!

Minggu, 06 Mei 2018

Memaksimalkan Berpikir Rasional



“There’s one way to be rational, there are many ways to become irrational”
(Eko Surya Winata)
*diterjemahkan dari bahasa Sunda



Ada banyak jalan untuk menjadi irrasional, misal pada saat bingung, tidak dapat menentukan sikap, Myiopia, Vindictive, Emosi, saat itu lah biasanya banyak keputusan salah diambil. Oleh sebab itu, irrasionalitas bukan lah pilihan.

Ada satu hal yang menarik terkait rasionalitas kita. Ternyata rasionalitas kita dapat diinjeksi, yaitu itu memaksimalkan cara kerja rasionalitas di saat kita tidak mampu berpikir rasional. Gimana caranya? Mau tahu?

Caranya adalah dengan menginjeksi rasionalitas melalu penggunaan cara pandang orang lain dalam melihat suatu kejadian yang kita alami, atau dengan kata lain berpikir dari sudut pandang “the outsider”.

Jadi begini, saat anda berpikir tentang hidup anda, maka yang terjadi adalah anda akan terjebak dalam sudut pandang/perspektif anda sendiri, terjebak dalam emosi anda, perasaan anda, dst (so on).

Namun, bayangkan jika anda berada di posisi orang yang sedang memberikan pendapatnya untuk orang lain (the outsider),
Anda berperan sebagai sudut pandang/ perspektif yang tidak terjebak dalam “Emotional Complexity”. Artinya, anda dapat memberi pandangan yang lebih jauh ke depan tanpa terlibat dalam emosi secara spesifik.

 Practically
“ So one idea is to basically asked people for advice”
Misalnya, ketika anda sedang jatuh cinta, minta lah pendapat orang lain, biasanya jawaban paling bijak ada dari ibumu.

Kamu : “Ma, apa pendapatmu apakah aku dan dia cocok, apakah compatible long-term?” (Pada saat itu anda pasti sedang benar-benar kasmaran.........yes, you’re infatuated!)
*infatuated is a condition when you are becoming extremely interesting about someone/ something for a short time


Ibu : Hey gurl, come on, when u are infatuated u’re not able to see things three months down the road.

Kamu : Ma, ini bukan kasmaran. Okey kalo ini kasmaran, ini kasmaran selamanya dan ga akan pernah hilang.........jangan sok Inggris deh mah, This is Infatuated forever u know, never go away!

Dalam kasus ini, ibu anda adalah “the outsider” dan tidak sedang dalam kasmaran (being infatuated), dan bisa jadi dia sedang mempertimbangkan hal lainnya seperti Long Term Compability, dsb.
Cara lain yang bisa dilakukan adalah dengan tidak menjadi penasihat bagi orang lain melainkan menjadi penasihat bagi diri anda sendiri (to be advisors for ourselves).
Misalnya,
Suatu ketika teman anda mendapat diagnosa dari dokter dan harus pergi dokter kembali untuk mengobati sakit. Anda tahu biayanya mahal, ternyata anda punya opsi lain dengan biaya jauh lebih murah. Tentu anda akan menyarankan opsi lain tersebut pada teman anda. Namun tak disangka, teman anda menolak “hey ga dong ini udah rekomendasi dokter harus dengan cara ini, jangan coba-coba pakai cara lain dong”.
Kemudian anda ceritakan ke perkumpulan teman anda seolah hal tersebut terjadi pada diri anda. Bagaimana pendapat mereka. “Hey kenapa kamu ga pergi ke opsi yang lebih murah....”

Kesimpulannya adalah bagaimana cara agar anda dapat mendapatkan pendapat dari perspektif “The Outsider” dan melatih agar diri dapat melihat keadaan dari perspektif luar (Outside perspective).

Fin
Esw


*Notes: Kata “Anda” sebenarnya semula adalah “Kamu”, ku ganti biar macam Motivator.

Padahal saya Desperator

Sabtu, 05 Mei 2018

YAHUDI DAN PALESTINA: JADI BEGINI






“It is time to officially recognize Jerusalem as the capital of Israel” (Donald Trump)
Potongan pidato Donald Trump yang mengumumkan bahwa Amerika mengakui Jerusalem sebagai ibu kota Israel.

Pernyataan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump ini membuat saya, juga mungkin anda marah besar. Konflik besar di Israel – Palestina adalah isu yang mendapatkan perhatian besar bagi pemerintah dan masyarakat Indonesia. Presiden Joko Widodo, sejalan dengan pemimpin dunia lain dengan segera mengecam langkah Trump tersebut.
Berbagai media massa merekam gelombang protes yang berasal dari berbagai kalangan di seluruh dunia, dan menghadirkan berbagai pakar untuk membedah implikasinya. Berbagai pemberitaan dan analisis di media kita bersepakat bahwa langkah Trump ini bakal memperparah ketegangan yang terjadi di wilayah Timur Tengah dan memberi pengakuan kedudukan Israel atas Palestina.
Namun, terdapat berbagai masalah dalam pemahaman beberapa dari kita dan media dalam memandang konflik tersebut serta peran orang Yahudi di dalamnya.

Salah satu hal yang paling mencolok selepas pidato Trump adalah maraknya pemberitaan tentang persatuan umat Islam dan Kristen di Jerusalem untuk memprotes keputusan tersebut. Sekilas penolakan ini sangat masuk akal, mengingat Jerusalem adalah ibu kota untuk agama Yahudi, Islam dan Kristen sekaligus.
Menjadikan Jerusalem sebagai ibukota Israel di tengah konflik dengan Palestina tentu punya Implikasi politis yang sangat keras. Pemberitaan ini pun tampak selaras dengan bingkai bahwa permasalahan ini adalah permasalahan kemanusiaan, bukan konflik agama tertentu saja.
Memang terdapat berita mengenai penolakan dari kelompok Yahudi sendiri, namun ia tak begitu signifikan secara jumlah dan pengaruhnya dalam perbincangan publik. Berita-berita lain justru menekankan bahwa ini adalah konflik kegamaan yang menempatkan Yahudi sebagai “Musuh bersama”, baik melalui pernyataan tokoh Internasional, maupun dalam narasi aksi-aksi nasional.
Media arus utama memang tidak pernah mengatakannya, namun pembingkaian semacam ini selaras dengan narasi yang mengandung muatan kebencian terhadap kaum Yahudi. Situs-situs yang lebih keras, bahkan memelintir kampanye kemanusiaan dengan artikel-artikel yang menyatakan bahwa masalah Palestina bukan hanya  “masalah kemanusiaan” namun juga “masalah agama”.
Dalam narasi ini, isu kemanusaiaan dianggap sebagai penyederhanaan masalah yang dipertaruhkan oleh mereka adalah “akidah” dan “syariah”. Solusinya, dengan demikian adalah mengembalikan Palestina yang diduduki oleh Israel pada kaum muslim, menjadikannya khalifah dan mengusir kaum Yahudi dari tanah tersebut.
Dalam narasi ini, kaum Yahudi dianggap sebagai sekumpulan orang jahat dan ingin menghancurkan Islam. Sebagian bahkan meyakini bahwa Yahudi ingin menguasai dunia. Orang Yahudi dibayangkan sebagai manifestasi Dajjal sejak dari sperma dan indung telurnya.
Narasi semacam ini senada atau bahkan dipengaruhi langsung oleh Teori-teori konspirasi anti-Yahudi yang berkembang di Eropa sejak abad 19.
Yang akhirnya menjustifikasi tindakan Nazi Jerman dalam melakukan Holocaust.

Menariknya,
sementara orang Yahudi  memang banyak yang tinggal di Eropa, sebagian besar warga Indonesia yang membenci Yahudi tidak pernah melihat atau berinteraksi dengan subjek kebenciannya itu.
Namun, kebencian banyak orang Indonesia terhadap Yahudi serta persepsi bahwa masalah Palestina adalah masalah agama dimunculkan oleh Anggapan bahwa:
Kaum Yahudi adalah kaum yang Tunggal, yang tidak memiliki perbedaan dan konflik internalnya tersendiri.
Anggapan ini diperkuat oleh penggambaran Yahudi di Media. Dalam membahas Lobi Politik misalnnya, media-media di Indonesia selalu berdokus pada AIPAC (The American Israel Public Affairs Committe), lembaga Yahudi yang punya pengaruh politik kuat di Amerika. Kelompok tersebut memang punya pengaruh kuat dalam politik Amerika, namun fokus media ini meredam suara-suara lain, kelompok lain dalam masyarakat Israel dan Yahudi secara umum.
Media kita jarang sekali menulis soal JVP (Jewish Voice of Peace) yang beranggotakan komunitas Yahudi di Amerika, yang aktif menolak berdirinya negara Israel serta mendukung kemerdekaan Palestina.
Kita juga tak pernah mendengar B’Tselem, yakni organisasi Hak Asasi Manusia di Israel yang rajin mengungkap masalah-masalah yang muncul akibat pendudukan Israel di Palestina.
Atau Neturei Karta, yakni kelompok ortodoks Yahudi yang percaya bahwa mendirikan negara Israel sebelum datangnya Mesiah bertentangan dengan ajaran Judaisme.
Di Israel sendiri, terdapat berbagai kelompok , salah satunya MAKI (מק), yakni Partai Komunis Israel yang menentang keras pendudukan dan mendorong pembebasan Palestina.

(Yap, Yahudi Komunis malah menolak pendudukan Israel atas Palestina. Ajaib, kan?)

Alih-alih, menggambarkan Israel sebagai entitas homogen, sebenarnya penting bagi media untuk menggambarkan keberagaman ini.
Tanpa adanya representasi yang jernih atas konflik tersebut, publik akan gagal untuk mengambil sikap. Informasi yang jernih adalah sumbangan paling berharga bagi media untuk perdamaian.

Jadi, apakah Yahudi sebagai bangsa adalah sumber dari konflik ini?
Tidak,

Penggambaran konflik di media secara jernih akan membantu kita membedakan
Yahudi sebagai Ras,
Judaisme sebagai Kepercayaan,
dan Zionisme sebagai Ideologi Politik.
Orang Yahudi sebagaimana orang Jawa, Sunda, Padang, atau Bali, itu beragam.
Beberapa di antaranya memeluk Judaisme, beberapa lainnya memeluk Kristiani, beberapa memeluk Islam, beberapa lagi bahkan tidak percaya agama manapun.
Di antara orang Yahudi yang beragam itu, ada yang percaya bahwa harus ada negara orang Yahudi di Jerusalem. Sebagaimana ada sebagian orang Islam yang percaya bahwa dunia harus diatur dalam sistem Khilafah, atau sebagian orang Komunis yang percaya bahwa perubahan sosial harus melalui revolusi bersenjata.
Pusat konflik antara orang Israel dan Palestina bukanlah antara orang Arab dan Yahudi, bukan antara Islam dan Judaisme. Masalahnya adalah ideologi Zionisme yang menjustifikasi pendudukan atas tanah Palestina, dan tak semua orang Yahudi  menganut Ideologi ini.
Invasi dan pendudukan Israel atas Palestina jelas merupakan masalah kemanusiaan yang serius. Namun, mereduksi permasalahan jadi perkara agama atau ras tidak akan menyelesaikan masalah.
Justru “Rasisme” dan “Permusuhan Agama” dari kedua belah pihak akan menjadi bahan bakar yang membuat konflik tak kunjung mereda.

Sincerely,
Winata (diambil dari coret-coretan tak berguna)


KARMA: MISTISISME & MEDIA





Televisi punya keajaiban kecil yang ganjil. Ia mengambil konseling dari ruang privat yang personal. Lalu membuatnya menjadi hysteria massal, lengkap dengan bumbu alam ghaib. Kemudian memberinya judul Karma.  Banyak remah-remah sungsang yang bisa digali dari reality show “Karma” milik ANTV ini. Dari miskinnya kreativitas para kreator, sampai harus membeli format tayangan TV Thailand (program Secret of Number’s di Thailand), hingga adegan dramatis yang terlalu dramatis hingga kerap dituduh sebagai “settingan”. Namun demikan, tulisan ini tidak membahas mengenai Orisinalitas atau Otentisitas. Karma adalah pewaris sah dari tradisi panjang perkawinan silang antara media dan mistisisme. Namun Kenapa acara semacam ini bisa terus mendapat tempat? Lalu, apa yang bekerja dibalik fenomena mistisisme di televisi?

KARMA
Duet maut Anak Indigo dan Host yang populer di televisi ini setia mempertontonkan tiap detik karma buruk yang diderita manusia selepas jam tonton anak.

“Apakah Guna-guna?”…………….. ……………..*Jreng  (sound effect)
“KDRT”?................................................................*Jrung (sound effect)
“atau Diteror Sosok Makhluk Ghaib?”………… * Eaaa  (sound effect)
-Robby Purba (host) pada salah satu episode Karma di ANTV-

Dalam setiap episode, Roy Kiyoshi (sang Anak Indigo) akan mengamalkan “Endusan” supratanaturalnya dan memilih satu nomor yang merupakan tanggal lahir seorang peserta.

“Sembilan” *jengjengjeng….. (sound effect)
-Roy Kiyoshi (sang Anak Indigo)
Kemudian sang peserta akan menceritakan keluh kesah hidupnya. Layaknya dokter segala ilmu, kemudia Roy akan menjatuhkan vonis tentang masalah-masalah tersebut

“Rasa sakit saya tuh masih ada semenjak dia selingkuh….”
“Kadang emang kurang percaya diri yah….”
-Salah seorang peserta menceritakan keluh-kesah hidupnya-

Apakah keluhan tersebut disebabkan hal duniawi atau ghaib? Karma buruk apa yang menimpanya? Hingga apa yang mesti dilakukan untuk mengobati penderitaan itu? Semua akan dijelaskan oleh Roy Kiyoshi. Tiap episode tayangan ini penuh dengan aksi nyentrik si anak Indigo tersebut. Mulai dari “Muntah Darah”, “Lampu studio yang mati setelah kesaksian penyembah Dajjal”, hingga “peserta yang menjomblo karena berjodoh dengan jin LGBT”. Menariknya absurditas yang sudah cukup purba ini adalah fenomena yang relatif baru dalam sejarah pertelvisian kita.

Fenomena larisnya mistisisme dalam dunia pertelevisian sebenarnya berawal pada era Orde Baru, dimana pada saat itu genre horror berkembang pesat di Indonesia, tonggaknya yaitu dimulai dari “meledaknya” film Ratu Ular (1972). Film-film ini bereksperimen dengan berbagai macam formula dengan menyelipkan adegan panas sebagai pemanis tambahan ataupun komik (seperti pada komik “Siksa Neraka” yang sempat laris manis*).

Menanggapi film horror yang menjamur, Dewan Film Nasional menerbitkan “Kode Etik Badan Sensor Film” pada tahun 1980. Kode etik ini mewajibkan penyertaan sosok protagonist religious sebagai pahlawan yang akan menjadi penyelamat dalam film horror. Dampaknya adalah genre horror di Indonesia dikuasai oleh satu narasi yang sama, yaitu “Baik vs Buruk” atau lebih tepatnya “Kyai vs Setan”. Pada era ini, televisi relatif bersih dari tayangan mistis, karena pada saat itu hanya ada satu stasiun televisi yakni TVRI yang dikontrol dengan ketat oleh Negara.

Pada akhir Orde Baru, mistisisme mulai muncul di televisi seiring dengan tumbuhnya stasiun televisi swasta. Sebut saja, misal “Si Manis Jembatan Ancol”, “Jin dan Jun”, atau “Tuyul dan Mbak Yul”. Tayangan-tayangan mistis ini pun kerap digugat oleh publik, “Si Manis Jembatan Ancol”, misalnya digugat karena tidak menampilkan pesan dan sosok religious. Sedangkan, “Jin dan Jun” atau “Tuyul dan Mbak Yul” digugat karena menggambarkan sosok makhluk astral dengan karakter ramah & baik hati. Secara keseluruhan, publik juga menggugat tayangan mistis, karena dianggap menjauhkan Agama, & Realitas. Seiring dengan lengsernya Orde Baru, Kode Etik Badan Legislasi Film juga turut lengser dari perhatian media. Mistisisme semakin menjamur dan hadir dalam berbagai bentuk, dari Infotainment seperti “Kismis” & “Silet” hingga Reality Show semacam “Dunia Lain” & “Mister Tukul Jalan-Jalan”.

Van Hereen dalam buku Contemporary Indonesian Film: Spirits of Reform and Ghosts from the Past menjelaskan adanya 2 (dua) perubahan signifikan yang terjadi pada tayangan mistisisme setelah reformasi, yaitu:
1.    Khalayak,
a)    Pada masa Orde Baru, tayangan mistisisme seakan menyasar khalayak yang Spesifik, yaitu masyarakat Kelas Bawah. Hal ini disimpulkan berdasarkan latar dan penokohan yang dekat dengan kalangan kelas bawah.
b)    Setelah Reformasi, tayangan mistisisme menyasar lapisan kelas lainnya. Dengan latar yang bergeser ke perkotaan, narasi yang tidak lagi memerlukan sosok religious, dan ditayangkan di bioskop mewah.

2.    Representasi
a) Pada masa Orde Baru, Mistisisme ditayangkan melalui sinetron dan kisah fiksi
b) Setelah Reformasi, Mistisisme tayang dalam format “Reality Show”. Sebagaimana nama genre-nya, Reality Show mendobrak horror dan mistisisme era Orde Baru yang sekedar “fiksi”. Sekedar “karangan” menjadi sesuatu yang “nyata”. Perubahan tren ini seakan mengatakan bahwa mistisisme merupakan suatu bagian yang tak hisa dilepaskan dari realitas kehidupan masyarakat Indonesia.

“Karma” membawa mistisisme satu langkah lagi lebih jauh, yaitu dengan meruntuhkan sekat-sekat kepercayaan Khalayak. Sebelum “Karma”, mistisisme kerap dibingkai dalam sudut pandang adat istiadat seperti “kejawen” ataupun “agama”. Karma menawarkan mistisisme yang beragam, alam ghaib versi “Karma” adalah alam ghaib yang Multikutural, lintas keyakinan, dan lintas Ilmu. “Karma” dapat membingkai mistisisme melalu perspektif Kejawen, Islam, Psikiatri, atau Okultisme ala Hollywood dan Pseudo-Sains ala New Age. Segala perspektif tadi dikemas dengan formula pasca-produksi yang sama dengan sinetron, mulai dari “sound effect yang mencekam” hingga “close-up di adegan yang menegangkan. Bahkan, terkadang kisah peserta sama absurdnya dengan sinetron, sehingga tidak heran jika ANTV menayangkan “Karma The Series” sebagai adaptasi kisah peserta dalam bentuk FTV.

Mistisisme seringkali menjadi sumber ketakutan, entah karena anda itu percaya pada makhluk ghaib atau karena anda takut kepercayaan itu akan merusak generasi muda.
Namun, apapun sikap anda terhadap mistisisme, bentuk dan cara pandang kita terhadap dunia mistis selalu berubah. Dari kepercayaan tentang arwah demit dan arwah leluhur dalam kearifan lokal, Jin dan Khadam dalam agama Islam, hingga makhluk astral dan frekuensi elektromagnetik dalam sains gadungan Parapsikologi. Setiap sistem kepercayaann ini pernah hilir-mudik dalam pertelivisian kita, timbul-tenggelam tergantung pada seberapa besar rating yang ia hasilkan.

Wacana ghaib pun seringkali punya irisan dengan gejolak sosial politik yang terjadi dalam dunia manusia. Mulai dari maraknya jin LGBT seiring dengan naiknya isu LGBT di media (Simak salah satu episode Ruqyah di Trans 7), hingga munculnya hantu Komunis bersamaan dengan isu pelanggaran HAM pada 1965 (Simak episode Mister Tukul Jalan-Jalan di Trans 7)

Barangkali misteri dan ketakutan ini bukan berasal dari makhluk halus atau imajinasi tentang dampak sosial yang ia bawa, melainkan dari sesuatu yang sepenuhnya lain. Dunia yang kita tinggali sangat lah kompleks. Kesemerautan yang sukar untuk dipahami, dan selalu berubah. Kita seringkali dibuat tidak percaya dengan hasrat orang untuk mengeruk profit sambal mengesampingkan segala hal lainnya. Atau perilaku orang yang sama sekali asing dan berbeda dari nilai-nilai yang kita pegang teguh. Betapa pun kita berusaha, kita tidak punya kendali penuh atas dunia kita. Selalu ada sesuatu yang mengganggu, yang tidak terduga.

Mitos dan mistisisme memberi nama dan bentuk pada kekacauan ini dan membuatnya bisa dipahami. Dengan demikian, mistisisme bukan sekedar karangan atau takhayul buta, meski tak bisa dianggap sebagai kenyataan sepenuhnya. Ia adalah cermin bagi pengalaman kita dengan dunia dan membuat kita merasa memiliki kendali atas dunia. Misal, “Bahwa Ruqyah bias mengusir jin LGBT” atau “Bertindak baik bisa mendatangkan karma baik”.

Kita tidak takut pada setan atau jin, mereka justru menyelamatkan kita. Tanpa Mistisisme atau kepercayaan pada hal lain seperti agama atau sains, dunia jadi tidak bisa dipahami. Dan manusia takut pada hal-hal yang tidak bisa dipahami, karena itu juga berarti bahwa ita tidak punya kendali. Namun, dengan begitu banyaknya penjelasan tentang dunia, baik melalui mistisisme, agama ataupun sains yang berkeliaran di media (termasuk yang sedang anda baca), apakah anda benar-benar memiliki kendali? Atau justru sebaliknya?


Selasa, 03 September 2013

Charlie Chaplin dan Film The Modern Times

The Modern Times
• Produksi                     : United Artists
• Durasi                         : 87 menit • Tahun Pembuatan  : 1936
• Negara                        : Amerika Serikat
• Sutradara                   : Charles Chaplin
• Produser                    : Charles Chaplin
• Penulis skenario      : Charles Chaplin
• Penata Kamera        : Rollie Totheroh, Ira Morgan
• Editor                          : Williard Nico
• Charlie Chaplin         : Pekerja Pabrik (The Tramp)
• Paulette Goddard     : Gamine (Ellen Peterson)
• Henry Bergman         : Pemilik CafĂ©
• Chester Conklin        : Montir
• Stanley Sandford     : Big Bill
• Hank Mann                : Perampok
• Stanley Blystone      : Ayah Gamine
• Al Ernest Garcia       : Presiden Electro Steel Corp.
Film ini mengisahkan semua akibat dari revolusi industri ini dengan sangat baik. Penyampaiannya pun juga ringan dan penuh humor. Meski begitu film ini sangat jelas menggambarkan situasi Amerika Serikat dimana pada kurun waktu 1930-an masih terkena imbas dari Revolusi Industri, pada saat itu di mana banyak kepala keluarga yang kehilangan pekerjaan, rela mengantri demi mendapatkan pekerjaan, rela mencuri, demo besar-besaran dari kalangan buruh, dan betapa kacau balaunya suatu sistem mesin apabila mengalami sedikit gangguan saja. Kondisi yang kian kacau akibat penggantian tenaga manusia oleh tenaga mesin ini membuat jumlah pengangguran semakin meningkat diiringi dengan jumlah kelaparan dan kejahatan. Inilah kritik keras Charlie Chaplin yang dituangkannya dalam Modern Times. Film tersebut dibuka dengan tulisan, “A story of industry, of individual enterprise—humanity crusading in the pursuit of happiness (Sebuah kisah tentang industry, tentang perusahaan individual—perang suci kemanusiaan untuk mencari kebahagiaan).
Keberadaan film Modern Times sangat menarik untuk ditelaah lebih jauh, terlebih lagi menggunakan analisa teori film marxist, karena film ini muncul di era situasi politik dan ekonomi dunia sedang tidak stabil; imbas dari revolusi industri yang juga mempengaruhi situasi politik dimana pertentangan antara kaum liberal dan komunis mulai memanas, diiringi oleh tumbuh berkembangannya faham komunis pasca revolusi Bolshevik di Russia dan menjelang menguatnya kubu-kubu imperialis fasis seperti Nazi, Jepang, fasis Italia dan fasis Inggris.
PLOT
Sebelum memasuki ranah yang lebih jauh, ada baiknya mengulas sedikit tentang alur cerita dalam film Modern Times ini. Fiilm ini merupakan salah satu film yang menyemarakan film dengan jenis komedi yang disajikan secara tragika, yang sebelumnya ada Buster Keaton yang lebih dahulu memulainya. Film Modern Times dengan cerdas menyoroti kehidupan Amerika (dan dunia) pada masa awal abad 20 yang saat itu yang masih terkena imbas dari Revolusi Industri. Sebagian film ini bersuara, namun sisanya adalah bisu namun dihiasi musik. Film ini di awali dengan aktivitas di sebuah perusahaan Electro Steel Corp. Kita akan melihat buruh-buruh yang bekerja. Kita seperti disuguhkan dengan sebuah analogi tentang manusia yang tak jauh beda dengan jenis hewan-hewan pekerja, seperti lebah, rayap atau semut, yang pada saat itu terjebak dalam rutinitas yang itu-itu saja.
Setelah sedikit pengenalan terhadap suatu pabrik, Electro Steel Corp. yang serba mesin, kita diperkenalkan pada seorang pekerja pabrik yang bertugas mengencangkan baut yang bernama Tramp (Charles “Charlie” Chaplin). Tramp dan para pekerja lainnya tenggelam dalam rutinitasnya dan diharuskan bekerja tanpa henti kecuali untuk makan siang. Sempat dalam sebuah adegan, Tramp diam-diam bersembunyi di toilet untuk beristirahat dan merokok, tetapi kemudian dia mendapatkan teguran dari Direktur Electro Steel Corp. lewat layar pemantau.
Secara psikologis, rutinitas pekerjaan Tramp sebagai pengencang baut tersebut mempengaruhi memori dalam otaknya. Kegiatan yang berulang-ulang tersebut mempengaruhi saraf motoriknya untuk melakukan gerakan mengencangkan baut, walau Tramp sendiri tidak dalam kondisi bekerja. Apapun yang dia temukan berbentuk baut, akan dia kencangkan dengan kunci inggrisnya.
Electro Steel Corp., perusahaan yang selalu ingin segala sesuatu yang terjadi di pabrik tersebut, baik aktifitas produksi dan hasil produksinya efesien dan terukur, mulai memikirkan agar waktu makan siang dipotong untuk menghasilkan waktu yang lebih efisien dan dapat digunakan semaksimal untuk bekerja. Kemudian datanglah beberapa salesman yang menawarkan rancangan “modern” feeding machine alias mesin pemberi makan modern. Dalam demonstrasi penggunaan “modern” feeding machine, ditunjuklah Tramp menjadi kelinci percobaan mesin tersebut yang akhirnya gagal dan menyebabkan Tramp yang telah lama memendam stress akibat rutinitasnya “meledak” dan mengacaukan seisi pabrik, salah satunya dengan masuk ke roda gerigi penggerak mesin-mesin pabrik. Hasilnya, Tramp pun dikirim ke rumah sakit jiwa.
Di luar kisah Tramp sendiri, diceritakan pula situasi masyarakat di luar rumah sakit jiwa, dimana terjadi gejolak besar dalam kehidupan masyarakat, banyak pabrik yang tutup dan pengangguran bertambah. Setelah dirawat untuk beberapa waktu dan dinyatakan sembuh, Tramp keluar dari rumah sakit jiwa. Tramp sendiri tidak menyadari bahwa sedang terjadi gejolak sosial di masyarakat, dimana sedang terjadi demonstrasi besar-besaran yang dilakukan oleh kaum buruh. Pada saat dia berjalan di sebuah sudut kota dan melihat sebuah bendera merah yang jatuh dari sebuah truk pengangkut barang, kemudian Tramp mengambil bendera tersebut, dan berusaha untuk mengejar truk tersebut. Pada saat dia mengejar truk tersebut, tanpa disadari dari belakang dirinya muncul segerombolan buruh yang tengah berdemonstrasi, sehingga terjadi kesalahpahaman, Tramp oleh polisi dituduh sebagai pemimpin demonstrasi dan akhirnya dikirim ke penjara. Di dalam penjara, Tramp mendapatkan tekanan yang sama, hidup dalam sebuah sistem yang diatur oleh kepala penjara dan para sipir. Hingga pada saat jam makan, terjadi inspeksi mendadak dari intelejen, bahwa ada seseorang yang diduga kuat sebagai pengedar kokain di penjara, dan tersangka pengedar tersebut tepat duduk di samping Tramp. Merasa terancam, si Pengedar menuangkan kokain tersebut ke dalam tempat garam. Dan kemudian tanpa sengaja Tramp memakan kokain, yang ia kira itu adalah garam. Setelah memakan kokain, ia mengigau hingga jam makan selesai dan akan kembali ke sel. Pada saat semua kembali ke sel, karena dibawah pengaruh kokain, Tramp justru tertinggal di halaman depan selnya, dan pada waktu yang bersamaan terjadi insiden dari segerombolan penjahat yang melakukan pembajakan terhadap kepala penjara dan beberapa sipir. Para penjahat tersebut ingin membebaskan seorang narapidana yang kebetulan satu kamar sel dengan Tramp. Masih dibawah pengaruh kokain, Tramp tanpa sengaja berhasil menaklukan penjahat yang berusaha melarikan diri dengan menyandera para polisi, sehingga dia dianggap sebagai pahlawan dan dibebaskan.
Suatu peristiwa yang melibatkan keluguannya malah menjadikannya pahlawan dalam penjara dan membuatnya akrab dengan para sipir penjara, hidup enak dengan segala fasilitas menyenangkan di selnya sehingga membuatnya betah.
Saat ia keluar dari penjara, pabrik tempatnya dulu bekerja telah tutup dan saat mencari kerja ia tak bisa beradaptasi sehingga banyak membuat masalah yang tak disengaja dan membuatnya tak mendapatkan pekerjaan. Ia pun memutuskan untuk kembali ke penjara karena merasa lebih nyaman. Di tempat lain, seorang gadis cantik namun melarat bernama Ellen Peterson (Paulette Goddard) yang cerdik dan berayahkan seorang pengangguran menjadi yatim piatu karena sang ayah tewas dalam suatu insiden melarikan diri dari orang pemerintah yang ingin mengambil dirinya dan adik-adiknya. Karena lapar, ia mencuri roti namun tertangkap dan bertemu Tramp di jalan yang mengaku sebagai pencurinya, namun gagal karena adanya saksi.
Ellen Peterson kemudian bertemu lagi dengan Tramp yang berulah agar ditangkap polisi di mobil patroli dan merekapun kabur. Keduanya saling jatuh cinta dan membayangkan punya rumah sendiri. Tramp pun berinisiatif untuk menyenangkan Ellen Peterson dengan bekerja sebagai penjaga malam sebuah department store dan mengadakan pesta dengan Ellen Peterson pada malamnya. Saat Ellen Peterson tidur, Tramp bertemu kawanan pencuri yang salah satunya adalah rekannya di pabrik yang terpaksa menjadi pencuri karena kelaparan. Mereka pun berpesta dan esoknya Tramp ditemukan ditumpukan kain dagangan dalam keadaan mabuk yang lagi-lagi membuatnya dikirim ke penjara.
Ellen Peterson setia menunggu dan saat Tramp keluar dari penjara sepuluh hari kemudian, Ellen Peterson memberinya kejutan dengan memberitahukan bahwa Ellen Peterson telah mendapatkan rumah, tepatnya sebuah gubuk dipinggir pelabuhan. Ellen Peterson berkata ini rumah yang mereka impikan walaupun tidak semewah istana Buckingham. Merekapun tinggal dengan penuh sukacita.
Keesokan paginya, Tramp mendapat pekerjaan di sebuah pabrik yang baru buka. Namun ketika dia sibuk mengeluarkan bos nya yang terjebak di dalam mesin, para buruh lainnya memutuskan untuk berdemonstrasi. Secara tidak sengaja Tramp membuat ulah yang menyebabkan sebuah batu bata melayang ke kepala seorang polisi, Tramp ditangkap lagi.
Dua minggu kemudian, Tramp dibebaskan. Sementara itu Ellen Peterson mendapat pekerjaan sebagai penari di sebuah cafe. Ellen Peterson berusaha memberi pekerjaan kepada Tramp sebagai seorang penyanyi. Ketika pertunjukkan, Tramp lupa dengan lirik lagu yang akan dinyanyikan dan membuat sebuah contekan yang dibuat di pergelangan tangan. Namun pada saat pertujukan, tanpa ia sadari contekan dipergelangan tangan tersebut terlepas. Namun, Tramp terselamatkan dengan improvisasinya melalui lirik jenaka dan pantomime.
Tidak lama kemudian polisi datang ingin menangkap Ellen Peterson karena menggapnya sebagai buronan kepolisian. Tetapi Ellen Peterson lolos lagi dengan dibantu oleh Tramp. Akhirnya, mereka berdua pergi meninggalkan kota tersebut dengan harapan yang lebih baik.
PENDEKATAN UMUM BERDASARKAN KONTEKS JAMAN
Aristoteles mengatakan bahwa komedi muncul karena rasa sakit. Rasa sakit dan sesuatu yang buruk tersebutlah yang patut untuk ditertawakan, bahkan terkadang kita menertawakan rasa sakit yang terjadi pada diri kita sendiri. Pilihan komedi satire (Sarkasme atau sindiran) inilah yang dipergunakan oleh Charles Chaplin dalam beberapa filmnya, terutama dalam film Modern Times untuk melakukan kritikan terhadap kapitalisme, tanggapan atas dampak revolusi industri di mana mesin – mesinlah yang memperbudak para pekerja pada masa Great Depression (jam kerja panjang dengan sedikit keselamatan bagi pekerjaan dan gaji yang sangat kecil, sedangkan kelas atas tetap kaya dan hanya menunggu hasil). Film Modern Times melawan arus di dalam Hollywood yang didominasi oleh film-film bergenre mellowdrama dan western yang sedang berkembang.
Dalam Communist Manifesto, Marx dan Engels menunjukkan bahwa akibat penggunaan mesin yang luas dan pembagian kerja, kerja proletariat telah kehilangan seluruh ciri individualitasnya, dan, sebagai akibatnya, pekerja hanya menjadi alat pembantu mesin, dan hanya paling sederhana, paling monoton, dan oleh karenanya hanya dibutuhkan ketrampilan yang paling mudah dipelajari. Oleh karena itu, biaya untuk menghasilkan seorang pekerja dibatasi, hampir seluruhnya, sampai di tingkat yang hanya cukup untuk membuatnya bertahan hidup. Tapi harga komoditi, dan demikian pula halnya dengan tenaga kerja, adalah sama dengan biaya produksinya. Maka, sebanding dengan semakin menjijikkannya pekerjaan itu, semakin turun pula tingkat upah. Lebih lagi, sebanding dengan meningkatnya penggunaan mesin dan pembagian kerja, meningkat pula beban kerja, baik melalui perpanjangan jam kerja, melalui peningkatan ragam pekerjaan yang dituntut dikerjakan dalam rentang waktu tertentu atau oleh peningkatan kecepatan kerja mesin, dan lain-lain.
Teknologi yang baru bukannya memperbaiki taraf kehidupan kaum buruh dalam industri, ia malah digunakan untuk memperburuk kondisi dari para buruh. Rasa tidak aman, tekanan yang tanpa henti atas sistem syaraf, stress yang sama, yang membawa masalah-masalah kesehatan dan depresi. Dampak yang jelas terjadi pada kondisi psikologis tokoh Tramp, dimana dia tanpa tidak terkontrol selalu melakukan hal-hal yang dia lakukan pada saat bekerja, walaupun dia dalam keadaan tidak melakukan pekerjaan itu. Dalam film Modern Times, kemiskinan dan hal-hal yang dianggap menjijikan, menjadi sesuatu yang lucu tapi tragis dan justru dengan bentuk inilah film ini berhasil menjadi film yang cukup populis di era-nya. Kehidupan masyarakat pada kelas sosial proletar telah begitu terepresi oleh sistem yang dibuat oleh kaum borjuis atau kapitalis, dan jumlah kaum proletar jauh lebih besar dari jumlah para borjuis tersebut. Hingga tingkat represi tersebut sudah menjadi hal yang kemudian dianggap sebagai konsekuensi yang harus diterima oleh kaum proletar. Sehingga nasib sial dan kemiskinan bagi mereka cukup ditanggapi dengan sesuatu hal yang menggelikan, walaupun bagi kaum proletar sendiri itu hal yang paling mengenaskan.
Bekerja dibawah tekanan dan ancaman pemutusan hubungan kerja merupakan hal yang dapat terjadi pada siapapun dan kapanpun. Bentuk pertunjukan komedi, termasuk film komedi kemudian menjadi pelarian untuk dapat dengan sejenak melepaskan kepenatan atas situasi yang kala tahun 1930-an terjadi. Bagi Charles Chaplin sendiri, kemiskinan dan nasib tidak beruntung bukan hal yang baru pada kehidupan dirinya. Pada saat kanak-kanak, kedua orang tuanya bercerai, dan dia tinggal bersama ibunya yang dikemudian hari pada saat Charles Chaplin berumur 12 tahun, ibunya menderita skizoprenia. Kemudian, Chaplin terpaksa tinggal di rumah penampungan orang miskin, bekerja untuk imbalan makan dan tempat berteduh di kawasan Lambeth, London. Setelah tinggal di sana beberapa minggu, Chaplin dimasukkan sekolah asrama penampungan anak terlantar bernama Central London District School di Hanwell. Selain situasi pabrik yang digambarkan oleh Charles Chaplin, beberapa adegan dalam film jelas menggambarkan situasi ideologi yang sedang bekerja dalam masyarakat Amerika Serikat dan Eropa pada tahun 1930-an. Louis Althuser memberikan pendapat, pada tatanan ideologi yang berkembang pada masyarakat menurutnya bekerja dengan dua sisi; Represive State Apparatus, yang bersifat menekan secara langsung; Dan Ideological State Apparatus, yang bersifat menekan secara halus. Secara gamblang, Charles Chaplin memberikan bukti-bukti tentang masa film ini pada tingkat Represive State Apparatus, dimana pihak-pihak yang menghegemoni menekan pihak-pihak yang lemah pada posisi tertentu, seperti perusahaan yang merepresi para buruh yang bekerja, serta aparat hukum yang merepresi para demonstran dan tahanan. Namun dengan cara tersebut, Charles Chaplin Nampak sadar bahwa film ini merupakan sebuah kerja untuk merepresi dengan cara halus kepada penonton, terutama melalui unsur komedi, dengan mengatakan bahwa sistem yang dibuat oleh kaum kapitalis sangat tidak bersahabat, tetapi sebagai kaum proletar harus tetap optimis untuk menghadapi sistem tersebut. Hal tersebut tampak pada adegan akhir film dimana tokoh Tramp dan Ellen Peterson berjalan dengan senyumnya menuju jalan yang tampak jauh di depan mereka.
Struktur naratif dalam film ini berjalan dengan prinsip-prinsip struktur Sinema Hollywood Klasik, yaitu bekerja dengan klausalitas yang jelas. Namun, Charles Chaplin mencoba mengembangkan teori ideologi Louis Althuser dengan memecah plot awal film menjadi dua sub-plot besar, yaitu kisah Tramp dan Ellen Peterson yang pada akhirnya menjadi satu kesatuan yang berjalan pada satu plot yang sama.
PENDEKATAN LEWAT GAYA (STILISTIK) SEBAGAI PROTES ATAS JAMANNYA
Modern Times, dengan gaya tertentu Charles Chaplin memuntahkan semua kegelisahan terhadap jamannya. Tata kamera yang sederhana merupakan bentuk pilihan tepat, memberikan ruang dan waktu kepada penonton untuk mencermati setting dan properti serta kekuatan gestur tokoh Tramp yang dimainkan oleh Charles Chaplin. Baik penggunaan tata kamera dan artistik dalam film ini menggunakan pendekatan cinematic realism, dimana konvensi atas semua kode fiksi yang diterapkan pada stilistik merupakan konvensi yang terpengaruh pada era 1930-an. Semua tampak seperti realitasnya, walaupun dalam beberapa bagian film mengingatkan kita pada film-film German Expressionism, tampak pada setting yang dilebih-lebihkan pada adegan Tramp yang terjebak dalam sebuah putaran roda gerigi penggerak mesin. Tapi konvensi realisme di era 1930-an masih dipertahankan, penggunaan gaya German Expressionism ini menguatkan imaji penonton terhadap tertindasnya manusia (kaum buruh) oleh mesin-mesin yang dipergunakan kaum kapitalis sebagai akibat dari dampak revolusi industri. Teknik pengekangan yang berlebihan (Super impose Technic) digunakan dalam sebuah setting pabrik, yaitu layar monitor yang terhubung antara presiden Electro Steel Corp. ke setiap sudut bagian pabrik. Berfungsi untuk mengontrol setiap kinerja mesin dan kerja para buruh. Sebuah bentuk Represive State Apparatus yang diciptakan langsung sebagai bagian dari cerita film Modern Times, yang merupakan sindiran kasar terhadap kapitalisme yang bagi sebagian buruh dinilai cukup mengganggu. Tidak ada lagi kebebasan secara individual untuk menikmati hidup. Tak luput pula, sosok Tramp yang diciptakan oleh Charles Chaplin merupakan sinikal dari sistem kapitalisme yang sedang berkembang serta tumbuhnya semangat fasisme dibeberapa wilayah dunia. Sosok Tramp merupakan perwujudan dari kaum proletar yang mencoba untuk membunuh kelasnya sendiri. Kemiskinan yang Tramp alami, ditutup-tutupi dengan kostum yang biasa digunakan oleh kaum borjuis, berdandan rapi, dengan jas, dasi dan topi, sehingga tampak seolah-olah menjadi seorang bangsawan. Walau bagaimanapun, setiap aksi dan perilaku yang Tramp lakukan masih menampilkan sosok kaum kelas bawah. Perilaku yang kampungan dan kebodohan-kebodohan orang-orang yang tidak mengenyam pendidikan tinggi. Kumis yang menjadi ciri khas Tramp sendiri merupakan sindiran terhadap fasisme Hitler yang mulai muncul pada pertengahan tahun 1930-an. Dan akibatnya, film-film Charlie Chaplin sempat diboikot masuk ke wilayah Jerman.
Film Modern Times merupakan film pertama Charles Chaplin yang memperkenalkan secara langsung suara Charlie Chaplin. Musik pun Charles Chaplin garap sendiri, masih dengan instrumen yang serius tetapi dalam beberapa bagian memainkan pola harmoni yang bersifat komikal. Pada saat film-film dengan suara muncul, Charles Chaplin masih dengan setia untuk tidak menggunakan dialog. Karena Charles Chaplin percaya bahwa kekuatan sebuah film ada pada gambar, setting dan akting. Hanya pada beberapa bagian saja Charles Chaplin menempelkan suara dialog, yaitu pada bagian layar monitor dari presiden Electro Steel Corp. itupun dengan alasan untuk menguatkan fungsi reperesif yang dialami kaum buruh pada cerita film Modern Times.

Minggu, 28 April 2013

Dominasi Pemikiran Otak Kiri dalam Kognisi Barat

Plato dan Aristoteles waktu itu menghampiri kedai minumanku. “Wah kukira mereka sudah berdamai” Ujarku dalam hati. Gambaran itupun secara implisit berkeliaran di kepalaku, tepatnya bersamaan dengan nyanyian burung yang merdu seperti tak kenal bahasa makian.

“Bos, pesan es pocong dua!” Ujar Aristoteles yang matanya tak berhenti memandang sinis sang guru Plato. Aku sungguh takut, takut yang sebenarnya lebih disebabkan mimpi pocong semalam. Jujur sebenarnya aku sendiri belum pernah melihat materi yang disebut pocong. Tapi itu tak usah dibahas, lebih baik aku buatkan saja mereka es pocong, yaitu es sumsum campur kedelai, yang kupoles sedikit dengan seni (bukan air seni).

Memandang Aristoteles dan Plato, mengingatkanku pada pembedaan otak kiri dan otak kanan. Keduanya memang berlainan,  dan memandang dunia dengan cara yang tidak sama. Otak kiri yang logis rasional, asertif, dan maskulin. Karakteristiknya memandang dunia secara linier, mengorganisasi input sensoris ke dalam bentuk titik pada suatu garis, secara berurutan. Yang aku tahu otak kiri lah yang menciptakan konsep kausalitas, yaitu kesan bahwa sesuatu menyebabkan  sesuatu yang lainnya, karena ia selalu terjadi lebih dulu. Sebaliknya, otak kanan mampu memahami seluruh  pola yang ada. Dia (otak kanan) adalah cenderung menerima segalanya dengan lebih bebas, feminis, resertif, mistik, dan intuitif. Aku memandang keduanya barangkali secara lebih kasar ialah, otak kiri ‘rasional’ dan otak kanan ‘irasional’.

Sembari aku memperhatikan Plato dan Aristoteles, aku masuk lagi ke dalam renung bawah sadar. Ya, benar adanya bahwa perkembangan ilmu pengetahuan menandai permulaan dominasi pemikiran otak kiri dalam kognisi barat dan menenggelamkan pertimbangan otak kanan ke dalam status ‘bawah tanah’ (bawah sadar) sehingga tidak pernah memunculkan apa-apa (yang diakui ilmu pengetahuan). Semoga di masa depan aku bertemu dengan sesorang yang menemukan ‘alam bawah sadar’ yang dia nyatakan sebagai alam gelap, misterius, dan irrasional (seperti halnya otak kiri memandang otak kanan). Sebagaimana Lao tse memahami fenomena yang sama ribuan tahun yang lalu (yin dan yang), meskipun mereka tidak pernah mengalami pembedahan pisah-otak.

Aku bermimpi mengajak manusia mengakui kembali aspek-aspek psikis yang lama dikesampingkan dalam masyarakat rasionalistik. Untuk dapat mengagumi dan menghargai sesuatu, orang harus memahaminya dengan cara khusus, meskipun pemahaman itu mungkin tak terdeskripsikan. Pengalaman ajaib-subjektif membawa pesan bagi pemikiran rasional bahwa objek keajaiban hanya dapat diamati dan dipahami dengan cara yang yang tidak sama dengan cara rasional.

"Apalah itu rindu, lebih baik kurasakan daripada harus kupikirkan" (Winata:69)

Tayangan halaman minggu lalu

Diberdayakan oleh Blogger.

Mengenai Saya

Foto saya
Kunang-kunang, dulu aku kecil, kau-pun juga. Sekarang aku besar, tapi kau masih tetap saja kecil. Andai ada kunang-kunang sebesar diriku, maka akan teranglah dunia.

Pengikut