Senin, 02 April 2012

Menolak Logosentrisme?

Dalam logos/langue mata intelek kita dikenai kacamata kuda agar mencapai kesimpulan atau rumus-rumus yg bermakna tunggal/ilmiah. Disiplin filsafat, ilmu maupun teologi saling berebutan posisi, mengklaim dirinya "kebenaran (tunggal)", makanya sikut-sikutan deh sampe skrg. Rumus atau kesimpulan ilmiah/filosofis yg bermakna tunggal itulah oleh filsuf Prancis, yaitu Derrida dinamakan "Logosentrisme". Logosentrisme pun membuat pikiran/mentalitas barat mendiskreditkan yg mereka bilang bukan barat, timur (tak punya logos = kebenaran).

Bahasa (logosentrisme) oleh Louis Althusser dilihat sebagai ideologi untuk jelaskan tentang cerita perjalanan kelas masyarakat. Dengan Althusser memasukkan bahasa ke dalam analisa sejarah sosial maka gerakan pemikiran kiri mulai membangun tradisi bahasa. Sama halnya pada kaum liberal, logosentrisme digunakan sebagai cerita tentang perjuangan kesadaran individual dan HAM. Baik kaum kiri maupun kanan sama-sama mengidap penyakit logosentrisme, klaim dirinya sebagai kebenaran tunggal/universalisme. Dengan istilah "logosentrisme" itulah Derrida menunjukkan penyakit arogansi pemikiran/filsafat barat!. "Logosentrisme" itu yg kemudian dibongkar oleh Derrida atau dgn istilah "dekonstruksi"!

Dekonstruksi melihat bahasa lebih pada makna perbedaan, jelas menolak hukum kacamata kuda yg melihat satu sama dengan kesamaan. Derrida menolak bahasa warisan aristotelian, pencipta logika, yg mencari makna/semantik sampai pada apa yg disebut "soul". Bagi Aristoteles makna bahasa bisa ditemukan pd ekspresi dari jiwa yg terwujud lewat kata-kata, yakni bahasa lisan. Menurut aristoteles bahasa lisan simbol dari jiwa, sementara bahasa tulisan simbol dari bahasa lisan, jd pentingnya bahasa pd lisannya. Sementara bagi Derrida bahasa lisan itu sebenarnya adalah bahasa tulisan, yg trlebih dulu menjejak di pikiran kita. Bagi Derrida tidak ada bahasa sebagai ekspresi murni, maka tidak ada subjek berbahasa (aku) yg bersifat metafisis sebgaimana pada Aristoteles itu. Ketika kita berbahasa seolah kita hadir langsung sebagai subjek pada teman atau lawan bicara, padahal tidak, ada makna yg tertunda dalam pembicaraan. Derrida mengedepankan perbedaan makna dari status kita berbahasa, jelas menolak logosentrisme. Dan memunculkan aliran poststrukturalis/postmodern.


" Dalam dunia makna jelas kita lepas dari konsep diri aku dan kamu sebagai dua yg berbeda dan saling mengobjek, relasi kita antar-subjek. Aku mengalami hidup bukan bagi dunia yang dideskripsikan namun dalam pengalaman2ku yg kuhayati sendiri scr eksistensial, kusadari sendiri" (Winata:69)


Published with Blogger-droid v2.0.4

0 komentar:

Posting Komentar

Tayangan halaman minggu lalu

Diberdayakan oleh Blogger.

Mengenai Saya

Foto saya
Kunang-kunang, dulu aku kecil, kau-pun juga. Sekarang aku besar, tapi kau masih tetap saja kecil. Andai ada kunang-kunang sebesar diriku, maka akan teranglah dunia.

Pengikut