Sabtu, 05 Mei 2018

KARMA: MISTISISME & MEDIA





Televisi punya keajaiban kecil yang ganjil. Ia mengambil konseling dari ruang privat yang personal. Lalu membuatnya menjadi hysteria massal, lengkap dengan bumbu alam ghaib. Kemudian memberinya judul Karma.  Banyak remah-remah sungsang yang bisa digali dari reality show “Karma” milik ANTV ini. Dari miskinnya kreativitas para kreator, sampai harus membeli format tayangan TV Thailand (program Secret of Number’s di Thailand), hingga adegan dramatis yang terlalu dramatis hingga kerap dituduh sebagai “settingan”. Namun demikan, tulisan ini tidak membahas mengenai Orisinalitas atau Otentisitas. Karma adalah pewaris sah dari tradisi panjang perkawinan silang antara media dan mistisisme. Namun Kenapa acara semacam ini bisa terus mendapat tempat? Lalu, apa yang bekerja dibalik fenomena mistisisme di televisi?

KARMA
Duet maut Anak Indigo dan Host yang populer di televisi ini setia mempertontonkan tiap detik karma buruk yang diderita manusia selepas jam tonton anak.

“Apakah Guna-guna?”…………….. ……………..*Jreng  (sound effect)
“KDRT”?................................................................*Jrung (sound effect)
“atau Diteror Sosok Makhluk Ghaib?”………… * Eaaa  (sound effect)
-Robby Purba (host) pada salah satu episode Karma di ANTV-

Dalam setiap episode, Roy Kiyoshi (sang Anak Indigo) akan mengamalkan “Endusan” supratanaturalnya dan memilih satu nomor yang merupakan tanggal lahir seorang peserta.

“Sembilan” *jengjengjeng….. (sound effect)
-Roy Kiyoshi (sang Anak Indigo)
Kemudian sang peserta akan menceritakan keluh kesah hidupnya. Layaknya dokter segala ilmu, kemudia Roy akan menjatuhkan vonis tentang masalah-masalah tersebut

“Rasa sakit saya tuh masih ada semenjak dia selingkuh….”
“Kadang emang kurang percaya diri yah….”
-Salah seorang peserta menceritakan keluh-kesah hidupnya-

Apakah keluhan tersebut disebabkan hal duniawi atau ghaib? Karma buruk apa yang menimpanya? Hingga apa yang mesti dilakukan untuk mengobati penderitaan itu? Semua akan dijelaskan oleh Roy Kiyoshi. Tiap episode tayangan ini penuh dengan aksi nyentrik si anak Indigo tersebut. Mulai dari “Muntah Darah”, “Lampu studio yang mati setelah kesaksian penyembah Dajjal”, hingga “peserta yang menjomblo karena berjodoh dengan jin LGBT”. Menariknya absurditas yang sudah cukup purba ini adalah fenomena yang relatif baru dalam sejarah pertelvisian kita.

Fenomena larisnya mistisisme dalam dunia pertelevisian sebenarnya berawal pada era Orde Baru, dimana pada saat itu genre horror berkembang pesat di Indonesia, tonggaknya yaitu dimulai dari “meledaknya” film Ratu Ular (1972). Film-film ini bereksperimen dengan berbagai macam formula dengan menyelipkan adegan panas sebagai pemanis tambahan ataupun komik (seperti pada komik “Siksa Neraka” yang sempat laris manis*).

Menanggapi film horror yang menjamur, Dewan Film Nasional menerbitkan “Kode Etik Badan Sensor Film” pada tahun 1980. Kode etik ini mewajibkan penyertaan sosok protagonist religious sebagai pahlawan yang akan menjadi penyelamat dalam film horror. Dampaknya adalah genre horror di Indonesia dikuasai oleh satu narasi yang sama, yaitu “Baik vs Buruk” atau lebih tepatnya “Kyai vs Setan”. Pada era ini, televisi relatif bersih dari tayangan mistis, karena pada saat itu hanya ada satu stasiun televisi yakni TVRI yang dikontrol dengan ketat oleh Negara.

Pada akhir Orde Baru, mistisisme mulai muncul di televisi seiring dengan tumbuhnya stasiun televisi swasta. Sebut saja, misal “Si Manis Jembatan Ancol”, “Jin dan Jun”, atau “Tuyul dan Mbak Yul”. Tayangan-tayangan mistis ini pun kerap digugat oleh publik, “Si Manis Jembatan Ancol”, misalnya digugat karena tidak menampilkan pesan dan sosok religious. Sedangkan, “Jin dan Jun” atau “Tuyul dan Mbak Yul” digugat karena menggambarkan sosok makhluk astral dengan karakter ramah & baik hati. Secara keseluruhan, publik juga menggugat tayangan mistis, karena dianggap menjauhkan Agama, & Realitas. Seiring dengan lengsernya Orde Baru, Kode Etik Badan Legislasi Film juga turut lengser dari perhatian media. Mistisisme semakin menjamur dan hadir dalam berbagai bentuk, dari Infotainment seperti “Kismis” & “Silet” hingga Reality Show semacam “Dunia Lain” & “Mister Tukul Jalan-Jalan”.

Van Hereen dalam buku Contemporary Indonesian Film: Spirits of Reform and Ghosts from the Past menjelaskan adanya 2 (dua) perubahan signifikan yang terjadi pada tayangan mistisisme setelah reformasi, yaitu:
1.    Khalayak,
a)    Pada masa Orde Baru, tayangan mistisisme seakan menyasar khalayak yang Spesifik, yaitu masyarakat Kelas Bawah. Hal ini disimpulkan berdasarkan latar dan penokohan yang dekat dengan kalangan kelas bawah.
b)    Setelah Reformasi, tayangan mistisisme menyasar lapisan kelas lainnya. Dengan latar yang bergeser ke perkotaan, narasi yang tidak lagi memerlukan sosok religious, dan ditayangkan di bioskop mewah.

2.    Representasi
a) Pada masa Orde Baru, Mistisisme ditayangkan melalui sinetron dan kisah fiksi
b) Setelah Reformasi, Mistisisme tayang dalam format “Reality Show”. Sebagaimana nama genre-nya, Reality Show mendobrak horror dan mistisisme era Orde Baru yang sekedar “fiksi”. Sekedar “karangan” menjadi sesuatu yang “nyata”. Perubahan tren ini seakan mengatakan bahwa mistisisme merupakan suatu bagian yang tak hisa dilepaskan dari realitas kehidupan masyarakat Indonesia.

“Karma” membawa mistisisme satu langkah lagi lebih jauh, yaitu dengan meruntuhkan sekat-sekat kepercayaan Khalayak. Sebelum “Karma”, mistisisme kerap dibingkai dalam sudut pandang adat istiadat seperti “kejawen” ataupun “agama”. Karma menawarkan mistisisme yang beragam, alam ghaib versi “Karma” adalah alam ghaib yang Multikutural, lintas keyakinan, dan lintas Ilmu. “Karma” dapat membingkai mistisisme melalu perspektif Kejawen, Islam, Psikiatri, atau Okultisme ala Hollywood dan Pseudo-Sains ala New Age. Segala perspektif tadi dikemas dengan formula pasca-produksi yang sama dengan sinetron, mulai dari “sound effect yang mencekam” hingga “close-up di adegan yang menegangkan. Bahkan, terkadang kisah peserta sama absurdnya dengan sinetron, sehingga tidak heran jika ANTV menayangkan “Karma The Series” sebagai adaptasi kisah peserta dalam bentuk FTV.

Mistisisme seringkali menjadi sumber ketakutan, entah karena anda itu percaya pada makhluk ghaib atau karena anda takut kepercayaan itu akan merusak generasi muda.
Namun, apapun sikap anda terhadap mistisisme, bentuk dan cara pandang kita terhadap dunia mistis selalu berubah. Dari kepercayaan tentang arwah demit dan arwah leluhur dalam kearifan lokal, Jin dan Khadam dalam agama Islam, hingga makhluk astral dan frekuensi elektromagnetik dalam sains gadungan Parapsikologi. Setiap sistem kepercayaann ini pernah hilir-mudik dalam pertelivisian kita, timbul-tenggelam tergantung pada seberapa besar rating yang ia hasilkan.

Wacana ghaib pun seringkali punya irisan dengan gejolak sosial politik yang terjadi dalam dunia manusia. Mulai dari maraknya jin LGBT seiring dengan naiknya isu LGBT di media (Simak salah satu episode Ruqyah di Trans 7), hingga munculnya hantu Komunis bersamaan dengan isu pelanggaran HAM pada 1965 (Simak episode Mister Tukul Jalan-Jalan di Trans 7)

Barangkali misteri dan ketakutan ini bukan berasal dari makhluk halus atau imajinasi tentang dampak sosial yang ia bawa, melainkan dari sesuatu yang sepenuhnya lain. Dunia yang kita tinggali sangat lah kompleks. Kesemerautan yang sukar untuk dipahami, dan selalu berubah. Kita seringkali dibuat tidak percaya dengan hasrat orang untuk mengeruk profit sambal mengesampingkan segala hal lainnya. Atau perilaku orang yang sama sekali asing dan berbeda dari nilai-nilai yang kita pegang teguh. Betapa pun kita berusaha, kita tidak punya kendali penuh atas dunia kita. Selalu ada sesuatu yang mengganggu, yang tidak terduga.

Mitos dan mistisisme memberi nama dan bentuk pada kekacauan ini dan membuatnya bisa dipahami. Dengan demikian, mistisisme bukan sekedar karangan atau takhayul buta, meski tak bisa dianggap sebagai kenyataan sepenuhnya. Ia adalah cermin bagi pengalaman kita dengan dunia dan membuat kita merasa memiliki kendali atas dunia. Misal, “Bahwa Ruqyah bias mengusir jin LGBT” atau “Bertindak baik bisa mendatangkan karma baik”.

Kita tidak takut pada setan atau jin, mereka justru menyelamatkan kita. Tanpa Mistisisme atau kepercayaan pada hal lain seperti agama atau sains, dunia jadi tidak bisa dipahami. Dan manusia takut pada hal-hal yang tidak bisa dipahami, karena itu juga berarti bahwa ita tidak punya kendali. Namun, dengan begitu banyaknya penjelasan tentang dunia, baik melalui mistisisme, agama ataupun sains yang berkeliaran di media (termasuk yang sedang anda baca), apakah anda benar-benar memiliki kendali? Atau justru sebaliknya?


0 komentar:

Posting Komentar

Tayangan halaman minggu lalu

Diberdayakan oleh Blogger.

Mengenai Saya

Foto saya
Kunang-kunang, dulu aku kecil, kau-pun juga. Sekarang aku besar, tapi kau masih tetap saja kecil. Andai ada kunang-kunang sebesar diriku, maka akan teranglah dunia.

Pengikut