Sabtu, 05 Mei 2018

YAHUDI DAN PALESTINA: JADI BEGINI






“It is time to officially recognize Jerusalem as the capital of Israel” (Donald Trump)
Potongan pidato Donald Trump yang mengumumkan bahwa Amerika mengakui Jerusalem sebagai ibu kota Israel.

Pernyataan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump ini membuat saya, juga mungkin anda marah besar. Konflik besar di Israel – Palestina adalah isu yang mendapatkan perhatian besar bagi pemerintah dan masyarakat Indonesia. Presiden Joko Widodo, sejalan dengan pemimpin dunia lain dengan segera mengecam langkah Trump tersebut.
Berbagai media massa merekam gelombang protes yang berasal dari berbagai kalangan di seluruh dunia, dan menghadirkan berbagai pakar untuk membedah implikasinya. Berbagai pemberitaan dan analisis di media kita bersepakat bahwa langkah Trump ini bakal memperparah ketegangan yang terjadi di wilayah Timur Tengah dan memberi pengakuan kedudukan Israel atas Palestina.
Namun, terdapat berbagai masalah dalam pemahaman beberapa dari kita dan media dalam memandang konflik tersebut serta peran orang Yahudi di dalamnya.

Salah satu hal yang paling mencolok selepas pidato Trump adalah maraknya pemberitaan tentang persatuan umat Islam dan Kristen di Jerusalem untuk memprotes keputusan tersebut. Sekilas penolakan ini sangat masuk akal, mengingat Jerusalem adalah ibu kota untuk agama Yahudi, Islam dan Kristen sekaligus.
Menjadikan Jerusalem sebagai ibukota Israel di tengah konflik dengan Palestina tentu punya Implikasi politis yang sangat keras. Pemberitaan ini pun tampak selaras dengan bingkai bahwa permasalahan ini adalah permasalahan kemanusiaan, bukan konflik agama tertentu saja.
Memang terdapat berita mengenai penolakan dari kelompok Yahudi sendiri, namun ia tak begitu signifikan secara jumlah dan pengaruhnya dalam perbincangan publik. Berita-berita lain justru menekankan bahwa ini adalah konflik kegamaan yang menempatkan Yahudi sebagai “Musuh bersama”, baik melalui pernyataan tokoh Internasional, maupun dalam narasi aksi-aksi nasional.
Media arus utama memang tidak pernah mengatakannya, namun pembingkaian semacam ini selaras dengan narasi yang mengandung muatan kebencian terhadap kaum Yahudi. Situs-situs yang lebih keras, bahkan memelintir kampanye kemanusiaan dengan artikel-artikel yang menyatakan bahwa masalah Palestina bukan hanya  “masalah kemanusiaan” namun juga “masalah agama”.
Dalam narasi ini, isu kemanusaiaan dianggap sebagai penyederhanaan masalah yang dipertaruhkan oleh mereka adalah “akidah” dan “syariah”. Solusinya, dengan demikian adalah mengembalikan Palestina yang diduduki oleh Israel pada kaum muslim, menjadikannya khalifah dan mengusir kaum Yahudi dari tanah tersebut.
Dalam narasi ini, kaum Yahudi dianggap sebagai sekumpulan orang jahat dan ingin menghancurkan Islam. Sebagian bahkan meyakini bahwa Yahudi ingin menguasai dunia. Orang Yahudi dibayangkan sebagai manifestasi Dajjal sejak dari sperma dan indung telurnya.
Narasi semacam ini senada atau bahkan dipengaruhi langsung oleh Teori-teori konspirasi anti-Yahudi yang berkembang di Eropa sejak abad 19.
Yang akhirnya menjustifikasi tindakan Nazi Jerman dalam melakukan Holocaust.

Menariknya,
sementara orang Yahudi  memang banyak yang tinggal di Eropa, sebagian besar warga Indonesia yang membenci Yahudi tidak pernah melihat atau berinteraksi dengan subjek kebenciannya itu.
Namun, kebencian banyak orang Indonesia terhadap Yahudi serta persepsi bahwa masalah Palestina adalah masalah agama dimunculkan oleh Anggapan bahwa:
Kaum Yahudi adalah kaum yang Tunggal, yang tidak memiliki perbedaan dan konflik internalnya tersendiri.
Anggapan ini diperkuat oleh penggambaran Yahudi di Media. Dalam membahas Lobi Politik misalnnya, media-media di Indonesia selalu berdokus pada AIPAC (The American Israel Public Affairs Committe), lembaga Yahudi yang punya pengaruh politik kuat di Amerika. Kelompok tersebut memang punya pengaruh kuat dalam politik Amerika, namun fokus media ini meredam suara-suara lain, kelompok lain dalam masyarakat Israel dan Yahudi secara umum.
Media kita jarang sekali menulis soal JVP (Jewish Voice of Peace) yang beranggotakan komunitas Yahudi di Amerika, yang aktif menolak berdirinya negara Israel serta mendukung kemerdekaan Palestina.
Kita juga tak pernah mendengar B’Tselem, yakni organisasi Hak Asasi Manusia di Israel yang rajin mengungkap masalah-masalah yang muncul akibat pendudukan Israel di Palestina.
Atau Neturei Karta, yakni kelompok ortodoks Yahudi yang percaya bahwa mendirikan negara Israel sebelum datangnya Mesiah bertentangan dengan ajaran Judaisme.
Di Israel sendiri, terdapat berbagai kelompok , salah satunya MAKI (מק), yakni Partai Komunis Israel yang menentang keras pendudukan dan mendorong pembebasan Palestina.

(Yap, Yahudi Komunis malah menolak pendudukan Israel atas Palestina. Ajaib, kan?)

Alih-alih, menggambarkan Israel sebagai entitas homogen, sebenarnya penting bagi media untuk menggambarkan keberagaman ini.
Tanpa adanya representasi yang jernih atas konflik tersebut, publik akan gagal untuk mengambil sikap. Informasi yang jernih adalah sumbangan paling berharga bagi media untuk perdamaian.

Jadi, apakah Yahudi sebagai bangsa adalah sumber dari konflik ini?
Tidak,

Penggambaran konflik di media secara jernih akan membantu kita membedakan
Yahudi sebagai Ras,
Judaisme sebagai Kepercayaan,
dan Zionisme sebagai Ideologi Politik.
Orang Yahudi sebagaimana orang Jawa, Sunda, Padang, atau Bali, itu beragam.
Beberapa di antaranya memeluk Judaisme, beberapa lainnya memeluk Kristiani, beberapa memeluk Islam, beberapa lagi bahkan tidak percaya agama manapun.
Di antara orang Yahudi yang beragam itu, ada yang percaya bahwa harus ada negara orang Yahudi di Jerusalem. Sebagaimana ada sebagian orang Islam yang percaya bahwa dunia harus diatur dalam sistem Khilafah, atau sebagian orang Komunis yang percaya bahwa perubahan sosial harus melalui revolusi bersenjata.
Pusat konflik antara orang Israel dan Palestina bukanlah antara orang Arab dan Yahudi, bukan antara Islam dan Judaisme. Masalahnya adalah ideologi Zionisme yang menjustifikasi pendudukan atas tanah Palestina, dan tak semua orang Yahudi  menganut Ideologi ini.
Invasi dan pendudukan Israel atas Palestina jelas merupakan masalah kemanusiaan yang serius. Namun, mereduksi permasalahan jadi perkara agama atau ras tidak akan menyelesaikan masalah.
Justru “Rasisme” dan “Permusuhan Agama” dari kedua belah pihak akan menjadi bahan bakar yang membuat konflik tak kunjung mereda.

Sincerely,
Winata (diambil dari coret-coretan tak berguna)


Tayangan halaman minggu lalu

Diberdayakan oleh Blogger.

Mengenai Saya

Foto saya
Kunang-kunang, dulu aku kecil, kau-pun juga. Sekarang aku besar, tapi kau masih tetap saja kecil. Andai ada kunang-kunang sebesar diriku, maka akan teranglah dunia.

Pengikut