“It is time to
officially recognize Jerusalem as the capital of Israel” (Donald Trump)
Potongan
pidato Donald Trump yang mengumumkan bahwa Amerika mengakui Jerusalem sebagai
ibu kota Israel.
Pernyataan Presiden Amerika Serikat,
Donald Trump ini membuat saya, juga mungkin anda marah besar. Konflik besar di
Israel – Palestina adalah isu yang mendapatkan perhatian besar bagi pemerintah dan
masyarakat Indonesia. Presiden Joko Widodo, sejalan dengan pemimpin dunia lain dengan
segera mengecam langkah Trump tersebut.
Berbagai media massa merekam gelombang
protes yang berasal dari berbagai kalangan di seluruh dunia, dan menghadirkan
berbagai pakar untuk membedah implikasinya. Berbagai pemberitaan dan analisis
di media kita bersepakat bahwa langkah Trump ini bakal memperparah ketegangan
yang terjadi di wilayah Timur Tengah dan memberi pengakuan kedudukan Israel
atas Palestina.
Namun, terdapat berbagai masalah dalam
pemahaman beberapa dari kita dan media dalam memandang konflik tersebut serta
peran orang Yahudi di dalamnya.
Salah satu hal yang paling mencolok
selepas pidato Trump adalah maraknya pemberitaan tentang persatuan umat Islam
dan Kristen di Jerusalem untuk memprotes keputusan tersebut. Sekilas penolakan
ini sangat masuk akal, mengingat Jerusalem adalah ibu kota untuk agama Yahudi,
Islam dan Kristen sekaligus.
Menjadikan Jerusalem sebagai ibukota
Israel di tengah konflik dengan Palestina tentu punya Implikasi politis yang
sangat keras. Pemberitaan ini pun tampak selaras dengan bingkai bahwa
permasalahan ini adalah permasalahan kemanusiaan, bukan konflik agama tertentu
saja.
Memang terdapat berita mengenai
penolakan dari kelompok Yahudi sendiri, namun ia tak begitu signifikan secara
jumlah dan pengaruhnya dalam perbincangan publik. Berita-berita lain justru
menekankan bahwa ini adalah konflik kegamaan yang menempatkan Yahudi sebagai “Musuh
bersama”, baik melalui pernyataan tokoh Internasional, maupun dalam narasi
aksi-aksi nasional.
Media arus utama memang tidak pernah
mengatakannya, namun pembingkaian semacam ini selaras dengan narasi yang
mengandung muatan kebencian terhadap kaum Yahudi. Situs-situs yang lebih keras,
bahkan memelintir kampanye kemanusiaan dengan artikel-artikel yang menyatakan
bahwa masalah Palestina bukan hanya “masalah
kemanusiaan” namun juga “masalah agama”.
Dalam narasi ini, isu kemanusaiaan
dianggap sebagai penyederhanaan masalah yang dipertaruhkan oleh mereka adalah “akidah”
dan “syariah”. Solusinya, dengan demikian adalah mengembalikan Palestina yang
diduduki oleh Israel pada kaum muslim, menjadikannya khalifah dan mengusir kaum
Yahudi dari tanah tersebut.
Dalam narasi ini, kaum Yahudi dianggap
sebagai sekumpulan orang jahat dan ingin menghancurkan Islam. Sebagian bahkan
meyakini bahwa Yahudi ingin menguasai dunia. Orang Yahudi dibayangkan sebagai
manifestasi Dajjal sejak dari sperma dan indung telurnya.
Narasi semacam ini senada atau bahkan dipengaruhi
langsung oleh Teori-teori konspirasi anti-Yahudi yang berkembang di Eropa sejak
abad 19.
Yang akhirnya menjustifikasi tindakan Nazi
Jerman dalam melakukan Holocaust.
Menariknya,
sementara orang Yahudi memang banyak yang tinggal di Eropa, sebagian
besar warga Indonesia yang membenci Yahudi tidak pernah melihat atau
berinteraksi dengan subjek kebenciannya itu.
Namun, kebencian banyak orang
Indonesia terhadap Yahudi serta persepsi bahwa masalah Palestina adalah masalah
agama dimunculkan oleh Anggapan bahwa:
Kaum
Yahudi adalah kaum yang Tunggal, yang tidak memiliki perbedaan dan konflik
internalnya tersendiri.
Anggapan ini diperkuat oleh
penggambaran Yahudi di Media. Dalam membahas Lobi Politik misalnnya,
media-media di Indonesia selalu berdokus pada AIPAC (The American Israel Public Affairs Committe), lembaga Yahudi yang
punya pengaruh politik kuat di Amerika. Kelompok tersebut memang punya pengaruh
kuat dalam politik Amerika, namun fokus media ini meredam suara-suara lain,
kelompok lain dalam masyarakat Israel dan Yahudi secara umum.
Media kita jarang sekali menulis soal
JVP (Jewish Voice of Peace) yang
beranggotakan komunitas Yahudi di Amerika, yang aktif menolak berdirinya negara
Israel serta mendukung kemerdekaan Palestina.
Kita juga tak pernah mendengar B’Tselem,
yakni organisasi Hak Asasi Manusia di Israel yang rajin mengungkap
masalah-masalah yang muncul akibat pendudukan Israel di Palestina.
Atau Neturei Karta, yakni kelompok
ortodoks Yahudi yang percaya bahwa mendirikan negara Israel sebelum datangnya
Mesiah bertentangan dengan ajaran Judaisme.
Di Israel sendiri, terdapat berbagai
kelompok , salah satunya MAKI (מק),
yakni Partai Komunis Israel yang menentang keras pendudukan dan mendorong
pembebasan Palestina.
(Yap, Yahudi Komunis malah menolak pendudukan Israel atas
Palestina. Ajaib, kan?)
Alih-alih, menggambarkan
Israel sebagai entitas homogen, sebenarnya penting bagi media untuk
menggambarkan keberagaman ini.
Tanpa adanya representasi
yang jernih atas konflik tersebut, publik akan gagal untuk mengambil sikap.
Informasi yang jernih adalah sumbangan paling berharga bagi media untuk
perdamaian.
Jadi, apakah Yahudi sebagai bangsa adalah sumber dari konflik
ini?
Tidak,
Penggambaran konflik
di media secara jernih akan membantu kita membedakan
Yahudi sebagai Ras,
Judaisme sebagai Kepercayaan,
dan Zionisme sebagai Ideologi Politik.
Orang Yahudi
sebagaimana orang Jawa, Sunda, Padang, atau Bali, itu beragam.
Beberapa di antaranya
memeluk Judaisme, beberapa lainnya memeluk Kristiani, beberapa memeluk Islam,
beberapa lagi bahkan tidak percaya agama manapun.
Di antara orang Yahudi
yang beragam itu, ada yang percaya bahwa harus ada negara orang Yahudi di
Jerusalem. Sebagaimana ada sebagian orang Islam yang percaya bahwa dunia harus
diatur dalam sistem Khilafah, atau sebagian orang Komunis yang percaya bahwa
perubahan sosial harus melalui revolusi bersenjata.
Pusat konflik antara
orang Israel dan Palestina bukanlah antara orang Arab dan Yahudi, bukan antara
Islam dan Judaisme. Masalahnya adalah ideologi Zionisme yang menjustifikasi
pendudukan atas tanah Palestina, dan tak semua orang Yahudi menganut Ideologi ini.
Invasi dan pendudukan
Israel atas Palestina jelas merupakan masalah kemanusiaan yang serius. Namun,
mereduksi permasalahan jadi perkara agama atau ras tidak akan menyelesaikan
masalah.
Justru “Rasisme” dan “Permusuhan
Agama” dari kedua belah pihak akan menjadi bahan bakar yang membuat konflik tak
kunjung mereda.
Sincerely,
Winata (diambil dari
coret-coretan tak berguna)
1 komentar:
seasonbet777
Prediksi Skor Piala Dunia Rusia Vs Kroasia 08 Juli 2018
Prediksi Skor Piala Dunia Rusia Vs Kroasia 08 Juli 2018
Prediksi Skor Piala Dunia Rusia Vs Kroasia 08 Juli 2018
Prediksi Skor Piala Dunia Rusia Vs Kroasia 08 Juli 2018
Prediksi Skor Piala Dunia Rusia Vs Kroasia 08 Juli 2018
Posting Komentar