Senin, 12 Maret 2012

GALAU DAN EKSISTENSIALIS


Galau adalah perasaan yang kau besar-besarkan untuk menguasai dirimu. Dia adalah wajar, begitu mempesona dan kau menginginkannya” (Winata: 69)

Galau itu gejolak pikiran dan pikiran itu penjamin eksistensi (ujung-ujungnya pilihan). Galau muncul karena kenyataan tak sesuai dengan yang diharapkan lalu jadi gelisah dibawa ke pikiran, nah mikir deh. Tapi pikiran juga jadi galau soalnya belum aja menemukan relasi yang oke antara hal-hal yang dipikirkan apalagi membayangkan suatu keputusan nanti. Kalo galau dibawa ke pikiran lalu mencoba tenang dan merangkai satu hal dengan lainnya, dapat titik temunya, nah itu asyik tuh jadi pemikiran.

Pointnya: galau itu sumber pengetahuan/ pemikiran, renungkan, dengan galau beranilah hadapi realita. Berat sih, ga sanggup? Paling larinya doa. Tapi kalo minjem kategori dari filsuf pencipta aliran filsafat eksistensialisme, Soren Kierkegaard, pemikiran galau itu masih tahapan dasar, estetik. Maksudnya bukan sekedar esteik = indah, tapi estetik = keindrawian. Galau estetik, sudah dalam pemikiran namun masih mudah tergoda oleh perubahan kongkrit (Inspirasi dari Kiekergaard). Galau-etis, pemikiran galau yang menyangkut dengan keputusan atau tindakan subjektif atas orang lain, menerima atau menyangkalnya. Galau-religius, nah ini baru kalau galau tak bisa dipecahkan oleh tahap estetik dan etis, lompatlah ke Tuhan (Inspirasi dari Kiekergaard).

Jadi tahap-tahapan galau itu, yang terinspirasi dari Kiekergaard: Manusia harus lebih dulu ngurusin soalnya sendiri, jangan langsung lompat pada Tuhan. Kiekergaard pernah kena galau-etis, sudah siap-siap nikah tau-tau batal seketika karena ketakutan kalo cintanya justeru tidak membebaskan. Itu persis Arthur Schopenhauer, tapi tak ada tahapan. Langsung ke “Die Leiden” (Nikmat itu Derita). Ya, Schopenhauer itu yang memperkenalkan galau dengan hashtag #nowplaying. Seni dan musik untuk kontemplasi kehendak pribadi. Schopenhauer itu galaunya kebangetan. Ngegabungin filsafat timur – Kant theorem dan Filsafat Weda – Upanishad.

Umumnya para eksistensialis galau-gagal dalam soal cinta (wanita)? Contoh Nietzsche, Kafka, Camus, Goethe. Nietzsche mau kawin dengan Lou Salome, tapi tidak diijinkan ibunya, ditambah sakit. Sartre punya kekasih meski hanya punya hubungan tanpa nikah dengan Simone Beauvior seperti Heidegger dan Hanna Arenth.

“Indahnya cinta tanpa perlu ikatan lembaga dan yang bisa dipertahankan bersama sampai liang kubur”. (Sartre)

"Cinta itu sejatinya hanya cukup untuk dirasakan. Bila kau menginginkannya itu sudah bukan cinta lagi, melainkan nafsu"  (Winata:69)

Published with Blogger-droid v2.0.4

0 komentar:

Posting Komentar

Tayangan halaman minggu lalu

Diberdayakan oleh Blogger.

Mengenai Saya

Foto saya
Kunang-kunang, dulu aku kecil, kau-pun juga. Sekarang aku besar, tapi kau masih tetap saja kecil. Andai ada kunang-kunang sebesar diriku, maka akan teranglah dunia.

Pengikut