Selasa, 13 Maret 2012

Sekolah

Seorang pemuda telah datang ke rumahku. Dia adalah kawanku, seorang guru sekolah dasar di mana salah satu sepupuku sekolah di sana. Aku berkata kepadanya : “jika untuk bisa membaca dan menulis, tentu saja aku bisa mengajarkan dia di rumah. Jika untuk membuat dia menjadi banyak tahu akan ilmu, untuk itu tentu saja dia di rumah bisa membaca banyak buku dan aku ajarkan untuk menjelajah dunia maya”.


Guru sekolah itu bertanya: “Wahai engkau yang oleh dosen-dosenmu dipanggil siswa, sebab apakah sepupumu tetap engkau suruh untuk sekolah?”. Aku menjawab, yaitu setelah memakan kue: “Mereka harus bertemu manusia lainnya, untuk mendidik perasaan dirinya, bagaimana seharusnya dia bersikap atas adanya rasa benci selain cinta, untuk mendidik perasaan dirinya, bagaimana seharusnya dia membawa diri atas adanya rasa kecewa selain suka. Sebab setiap hal yang berhubungan dengan manusia, wahai engkau, akan selalu berkaitan dengan perasaan hatinya.”


“Untuk mendidik sehingga bisa memahami orang lain dan memahami dirinya sendiri agar kelak menjadi dirinya sendiri yang tahu diri dan berbudi luhur di dalam hidup bermasyarakat.” Guru sekolah itu tersenyum lalu berkata : “Kami dengar wahai engkau yang oleh dosen-dosenmu disebut siswa. Maka adakah hal lain yang ingin engkau sampaikan?”. Maka jawabku kepadanya : “Perbanyaklah waktu istirahat”.


Berkata juga aku kepadanya, seraya aku memijit punggungnya karena katanya dia sedang merasa pegal linu: “Dengarlah, Kawan, pada dasarnya semua orang sudah bisa baca tulis, tetapi adakah semua orang bisa membuat karya tulis? Pada dasarnya semua orang bisa mudah menekan gas dengan sekuat dia bisa, tetapi ketahuilah olehmu untuk bisa ngebut sangat dibutuhkan nyali.”


Berkata juga aku kepadanya: “Bagiku, maafkan jika aku salah, tetapi ruang kelas adalah bagai kurung untuk beo yang kau ajar bicara. Hendaknya ajaklah mereka pergi ke atas bukit, bertemu dengan dua bersaudara yang dianggap gila pada masanya yang justru oleh karenanya kita sekarang menikmati kapal terbang. Ajaklah ke kamar mandi, yaitu ke tempat di sana Archimedes mengutarakan Eureka atas hal yang telah dia dapatkan, yaitu apa yang selama ini dicarinya. Ajaklah pergi ke tempat berdebu karena Tagore adalah dia yang bicara kepada kita : “Anak-anak adalah mereka yang bersama debu”.


Dan juga berkata kepadanya : “Wahai, Kawan, tidakkah sampai kepadamu kabar, bahwa cabai kecil yang kita makan akan lebih terasa pedas daripada gambar satu bakul cabai di papan tulis?” Dia berkata: “Nah itu, bagian kiri dari punggungku rasanya pegal sekali”


Dan juga berkata kepadanya: “Wahai dikau yang oleh sepupuku dan kawan-kawan sebayanya dipanggil Guru. Pengetahuan rumus Einstein yang engkau berikan kepada murid-muridmu adalah rumus dari seorang Einstein yang berkata : ‘Imaginasi lebih utama daripada pengetahuan’”. Dia menjawab: “Kami dengar tentang itu, wahai Siswa.” Kataku kepadanya: “Mudah-mudahan bukan Cuma menjadi kata-kata hiasan yang engkau sampaikan kepada murid-muridmu.”


Dan juga berkata kepadanya: “Engkau sendiri sesungguhnya mengatakan kepada murid-muridmu bahwa pengalaman adalah guru yang paling baik”. Maka, katanya kepadaku: “Demikianlah, kami hanya menjalankan kurikulum yang sudah diberikan oleh mereka”


Aku berkata: “Siapa pun mereka, maka katakanlah kepada mereka bahwa sesungguhnya bukan kurikulum yang harus selalu diubah, melainkan sikap dan pandangan masyarakat terhadap sekolah. Karena ketahuilah olehmu, bagi masyarakat, mereka menyekelohkan anaknya adalah untuk bisa mendapat ijazah, bukan ilmu.”


”Berharap ilmu sehingga tahu, berharap ijazah sehingga kerja, berharap kerja sehingga kaya, berharap kaya sehingga senang, berharap senang sehingga apa?”


Dan berkata kepadanya: ”Masihkah engkau berkata kepada murid-muridmu: ‘Jangan berpikir aneh-aneh, ikuti instruksi guru saja. Padahal, engkau tahu seorang genius adalah mereka yang dianggap aneh pada zamannya.”


Dan berkata kepadanya: “Sesungguhnya ini adalah hal yang membuatku bingung: manakala kita mengetahui bahwa perbedaan adalah sebuah rahmat, tapi mengapa justru kita menganjurkan murid-murid berseragam.” Dia tertawa dan katanya : “Aku tidak pernah memikirkan soal itu, Guru.”


Dan juga berkata kepadanya: “Tidakkah ini akan membuat engkau menjadi bingung sendiri? Guru PKN bilang bahwa semua agama itu benar, sedangkan guru agama bilang hanya satu agama yang benar?”


Dan berkata kepadanya: “Ketahuilah olehmu apa yang aku pikirkan tentang syair lagu ‘Taman yang paling indah adalah taman kanak-kanak’, syair lagu itu pasti bukan kalimat yang keluar dari hati nurani anak-anak TK, karena anak-anak tahu ada Dufan dan Walt Disney Park.” Dia berkata: “Benar, Siswa atau kau bisa kupanggil Guru.” Kataku kepadanya: “Jangan mengatakan benar hanya karena agar aku memijatmu.” Katanya: “Insya Allah tidak, Guru”


Dan berkata kepadanya: “Menuntut ilmu ke sekolah, tidaklah ini aneh bagimu? Karena kalau mau menuntut, seharusnya pergi ke kantor polisi. Menuntut ilmu ke sekolah malah akan dituntut balik oleh sekolah untuk membayar karena sudah menuntut ilmu di sekolah.” Dia memandangku dan tertawa, lalu berkata: “Guru pasti sedang bercanda soal ini.” Jawabku kepadanya: “Ya, engkau benar.” Lalu, aku lihat dia menangis, maka tanyaku kepadanya: “Mengapa engkau menangis?” Dia menjawab: “Agar menjadi dramatis, Guru”. Aku tersenyum dan menggeram: “HAHAHA….terima kasih”.


Published with Blogger-droid v2.0.4

0 komentar:

Posting Komentar

Tayangan halaman minggu lalu

Diberdayakan oleh Blogger.

Mengenai Saya

Foto saya
Kunang-kunang, dulu aku kecil, kau-pun juga. Sekarang aku besar, tapi kau masih tetap saja kecil. Andai ada kunang-kunang sebesar diriku, maka akan teranglah dunia.

Pengikut