Sabtu, 03 Maret 2012

MESIN WAKTU DAN AL -GHAZZALI

By: Eko Surya Winata


“Ini adalah bumi, aku akan merasa gagal dalam hidupku, jika tidak merasa tentram. (Winata: 69)”


Entah kenapa malam ini disebut minggu, aku bertemu Al –Ghazzali sewaktu dia akan mengajukan skripsi dahulu. Tak sengaja aku memakai sarung untuk menutupi muka, entah mungkin karena Baghdad yg indahnya begitu tertutup oleh cadar atau karena takut dieksploitasi Amrik. Lalu aku berpura-pura menggedor-gedor pintu rumahnya yang langsung berhadapan dengan kamarnya. “Tolong... Tolong.. Tuaann...!!” (Ujar suaraku yang membelah langit). Sepuluh menit setelah itu Ghazzali pun keluar, dan bercakap dalam bahasa Arab “Anda siapa? Ada maksud apa datang kemari? Anda seperti ketakutan nampaknya”. Dalam hatiku (Oh Chomski andai aku ahli linguistik) lalu aku memberikan selembar kertas padanya, sekejap aku langsung berlari menghilang disembunyikan malam (Meski jadi tidak keren lagi, tapi harus kukatakan  bila aku tersungkur di sumur).

Lalu Ghazzali pun kebingungan apa maksud ini semua? Dengan kepala yang sudah penat dia kembali pulang ke kamar. Sekejap ia takut membuka kertas itu, bukan karena bom melainkan karena takut itu sebuah amanat. Tapi dia cuek karena juga memiliki self-interest dalam hal ini kegiatan membanding-bandingkan. Yaitu antara tugas skripsinya atau sekertas surat itu. Sekejap ia berpikir surat itu dari Linda, kekasihnya dari Cibinong yang ditelan jarak (baca: Jarak itu nama monster), tapi sepertinya bukan. Dihimpit suara anjing menggonggong dikarenakan khafilah berlalu di depan rumahnya, ia pun membuka kertas itu tak sengaja.

Ternyata tulisan itu berisi kalimat:

“Kebenaran ilmiah tidak ditemukan tapi diciptakan (Winata:69)”


Setelah membacanya dia berusaha memahami semantiknya kalimat tersebut, sambil mencari siapa si pembawa ini, simana dia? Ternyata sumur tadi adalah mesin waktu, sekarang akunya di sini, di masa beratus tahun setelah kematianmu. Saat ini aku sedang terpesona membaca salah satu karyamu yang berjudul Al-Mungidh min al-Dalal (Deliverance from Error) by Al- Ghazzali.

Kalau boleh aku simpulkan dari membaca Al-Mungidh min al-Dalal, apa yang membuatnya indah, bukan karena Al-Ghazzali pandai berargumen, tetapi karena ia jujur. Berangkat dari pemilihan jenis-jenis pengetahuan, ia mengkritik rigiditas empirisme dan rasionalisme. Karena mengacuhkan segi emosi, intuisi dll. Ia menghargai sains, menghormati kebenaran ilmiah. Tetapi pertanyaan pribadinya adalah apakah kebenaran tersebut berhubungan dengan kebahagiaannya. Ia mengkritik filsafat, karena memang filsafat sering disalahgunakan demi pembenaran. Ini mengingatkan saya kritik Plato terhadap Kaum Sophist.

Latar belakang penulisan karya ini adalah kebimbangan Al-Ghazzali antara bertahan pada status dan posisinya di Baghdad atau menjalani hidup sebagai sufi. Akhirnya?

I left Baghdad then. I distributed what wealth i had, retaining only as so much as would suffice myself” (Al-Ghazzali).

During these periods of solitude there were revealed to me things innumerable and unfathomable” Beruntung...

I ask him first of all to reform me, and then reform through me, to guide me and then to guide through me” (Al-Ghazzali)


*Salam sayang untuk suratmu


Published with Blogger-droid v2.0.4

0 komentar:

Posting Komentar

Tayangan halaman minggu lalu

Diberdayakan oleh Blogger.

Mengenai Saya

Foto saya
Kunang-kunang, dulu aku kecil, kau-pun juga. Sekarang aku besar, tapi kau masih tetap saja kecil. Andai ada kunang-kunang sebesar diriku, maka akan teranglah dunia.

Pengikut